Lihat ke Halaman Asli

Hesdo Naraha

Sharing for caring by "Louve" from deep Instuisi-Ku

Menjadi Elang atau Menjadi Kepompong?

Diperbarui: 25 Maret 2024   14:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi rumah yang nyaman bagi tumbuh kembang keluarga. Sumber: Freepik/pch.vector via KOMPAS.com

Di dalam salah satu seri Podcast-nya, Professor Rhenald Kasali berbagi perspektif mengenai nilai dan pesan yang diperolehnya selepas menonton film Ngeri-Ngeri Sedap. Saya tidak mengingat secara lengkap penjelasan Prof Rhenald, namun salah satu pesan yang dikemukakan oleh beliau, kini menjadi sangat melekat dan relevan dengan kehidupan saya. Kira-kira begini katanya:

"Jika setiap orangtua menginginkan anak-anaknya menjadi mandiri dan berhasil, maka bersiaplah untuk rumahnya menjadi seperti sarang Elang. Namun, jika orangtua menginginkan anaknya untuk tidak jauh darinya, maka cukuplah untuk memanjakan mereka, maka bersiaplah untuk rumahnya menjadi sarang kepompong." (Prof Rhenal Kasali) 

Ketika mendengar kalimat di atas, saya lalu teringat dengan buku "Strawberry Generation" karya beliau. Melalui buku itu, sebenarnya kita dapat mengerti makna dibalik penjelasan di atas. Ada sebuah kritik yang keras dan halus terhadap pengasuhan orangtua modern, sehingga tak heran semakin kesini persoalan yang dihadapi oleh generasi muda (anak-anak, remaja, pemuda) menjadi semakin pelik dan beragam.

MENJADI KEPOMPONG 

Sewaktu Sekolah Dasar (SD) dulu, saya teringat akan pelajaran mengenai metamorfosis hewan. Secara umum -sejauh saya mengingatnya, terdapat dua jenis metamorfosis; ada yang disebut metamorfosis sempurna dan tidak sempurna. Kupu-kupu dan katak merupakan dua jenis serangga yang termasuk dalam proses metamorfosis sempurna. Jika dilihat melalu penjelasan sains, maka tentu hal ini sungguh mengagumkan. Namun, ada kritik dalam pandangan Prof Rhenald Kasali mengenai 'menjadi kepompong'. 

Menurut Prof Rhenald, kepompong adalah sebuah dinamika kehidupan yang tidak ideal, meskipun proses metamorfosisnya sempurna, namun tidak berdampak baik bagi kehidupan. Hal ini tentunya sejalan dengan fakta bahwa kepompong akan menghabiskan waktu yang cukup panjang di dalam sarangnya yang hangat dan aman itu, selepas itu sang kepompong akan keluar sebagai seekor kupu-kupu cantik yang menawan hati.

Di tengah realitas dunia modern yang semakin mengeluk-elukan keindahan rupa, maka anak-anak akan memilih menjadi Kupu-kupu daripada seekor Singa. Karena bagi mereka, kupu-kupu jauh lebih cantik dan bersayap ringan, daripada menjadi singa yang menakutkan dan sering berkelahi dengan musuhnya di alam liar.

Bagi Prof Rhenald Kasali, pandangan yang demikian sejatinya lahir dari pemikiran anak-anak Mami (sebutan bagi anak-anak yang manja) yang sukar diperhadapkan dengan tantangan, kesulitan, dan penderitaan. Akhirnya, mereka kerap beranggapan bahwa sesuatu yang ideal, baik, hebat, berkualitas tinggi adalah hal-hal yang indah, 'yang penting bagus, yang penting cantik.' Kesadaran  semacam ini tanpa disadari telah membentuk anak-anak, bahkan seorang dewasa untuk menjadi tidak kritis dalam menilai, menelaah, hingga menetapkan pilihan mengenai apa saja.

Saya jadi ingat percakapan Okky Madasari di Rumah Perubahan, dia menjelaskan secara gamblang bagaimana generasi muda masa kini (Gen Z, Gen Alpha) cenderung hanya tertarik pada hal-hal yang indah; apalagi hal itu gemoy. 

Apabila seseorang memilih untuk menjadi kepompong, maka pada prinsipnya orang tersebut telah menentukan pilihan yang tidak mendewasakannya. Mengapa? Karena kepompong akan masuk kedalam sarungnya yang hangat dan nyaman, lalu kemudian dalam waktu yang panjang akan menjadi seekor kupu-kupu cantik, namun hidupnya hanya bertahan 30 hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline