Modal utama dalam menulis adalah daya kreativitas, menciptakan hal/ide baru; dan daya imajinatif, kemampuan membayangkan/ menggambarkan pokok soal dari awal sampai akhir (lahirnya outline).
Sebenarnya setiap orang diberi tujuh kemampuan dasar atau kecerdasan kreatif yang dikenal dengan seven kinds of smart (Thomas Armstrong) meliputi: verbal/linguistis--kemampuan memanipulasi kata secara lisan atau tertulis; matematis/logis-- kemampuan memanipulasi sistem nomor dan konsep logis; spasial-- kemampuan melihat dan memanipulasi ruang, pola-pola desain; musikal--kemampuan mengerti dan memanipulasi konsep musik, seperti nada, irama, dan keselarasan; kinestetis-tubuh-- kemampuan memanfaatkan tubuh dan gerakan, seperti dalam olah raga atau tari; intrapersonal-- kemampuan memahami perasaan diri sendiri, gemar merenung serta berfilsafat; serta interpersonal-- kemampuan memahami orang lain, pikiran, serta perasaan mereka.
Seseorang biasanya dominan dalam satu atau dua jenis kecerdasan. Meskipun demikian, dari ketujuh kecerdasan tersebut, seseorang dapat memiliki kombinasi unik yang bisa dikuasai. Namun umumnya, seseorang terlalu membatasi diri, sebab semasa kanak-kanak hanya didorong memusatkan diri pada satu kecerdasan---khususnya verbal/linguistis atau matematis/logis. Kedua kecerdasaan inilah yang umumnya ditekankan dalam sistem pendidikan. Akibatnya, seseorang tidak memiliki kemampuan atau potensi di bidang lain.
Sesungguhnya seseorang terlahir dengan banyak keterampilan kreatif. Ketika masih bayi dan kanak-kanak, secara alamiah selalu ingin tahu serta antusias menjelajahi dunia sekitar, menikmati warna, cahaya, gerakan, dan bunyi. Ingin merasakan, mengambil, dan memanipulasi apa saja yang terlihat. Puas menghabiskan hari demi hari bermain dan bereksperimen dengan berbagai benda serta unsur-unsur alam (hujan, pasir, lumpur, dsb.).
Secara alamiah seseorang merupakan ahli rancang bangun, seniman, penyair, tukang masak, pemain musik, dsb.
Orang umumnya mulai membatasi pencarian dan pengembangan kemampuan kreatif pada usia teramat muda. Saat duduk di bangku sekolah dasar, sedikit demi sedikit, kreativitas mulai dikekang oleh pendidikan. Di kelas wajib duduk rapi berderet atau berkelompok, tunduk pada peraturan dan prosedur yang kaku, umumnya membatasi keterampilan berpikir kreatif.
Dalam belajar, anak didik lebih sering menghafal ketimbang mengeksplorasi, bertanya, atau bereksperimen---dunia eksplorasi, bertanya, dan eksperimen menjadi hak guru.
Saat menapaki sekolah menengah pun kreativitas seseorang semakin jarang diasah karena sering di-bully teman, di-cing guru, dan diberi beban tugas sekolah begitu banyak (setiap guru memberi tugas), sehingga kreativitas kian mlempem.
Sesungguhnya bukan hanya sistem pendidikan yang memasung kreativitas. Upaya kreatif seseorang sering ditanggapi dengan kritik dan umpan balik negatif, bukan diberi dukungan dan dorongan positif. Apa bila guru, teman, orang tua, atau saudara, sengaja atau tidak, melontarkan komentar bernada olok-olok atas puisi, tarian, cerpen, lukisan yang diciptakan; hati seseorang pun mudah terluka, kemudian enggan berkreasi lagi.
Ternyata, sikap menarik diri dan tidak lagi mempertontonkan kreativitas menjadi pilihan terbaik ketimbang harus menerima risiko olok-olok atau dipermalukan.
Saat beralih dari jenjang pendidikan ke dunia kerja, hidup berkeluarga, faktor lain sebagai penghambat berkembangnya daya kreatif berkaitan dengan masalah ketegangan. Seseorang banyak menerima tekanan dalam kehidupan sehari-hari sehingga energi melemah. Kreativitas sulit ditumbuhkan karena kehabisan waktu: harus menghadiri seminar, workshop, merancang kegiatan kantor, memikirkan urusan kampung, membayar cicilan rumah, dan berbagai urusan lain yang memeras otak.
Agar kreativitas tidak mudah melemah, ada baiknya kita memiliki waktu refreshing bersama keluarga atau teman. Setidaknya memiliki cara untuk membahagiakan diri sendiri dengan mengembangkan hobi yang dimiliki. Bagaimana, siap mengembangkan daya kreativitas agar hidup lebih berwarma?
*Herry Mardianto