Lihat ke Halaman Asli

Roni Bani

Guru SD

Memulai Hari Baru dengan Gemas-Cemas

Diperbarui: 31 Januari 2023   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hari-hari sibuk di Umi Nii Baki-Koro'oto telah berakhir. Semua kembali pada situasi normal dan dalam rutinitas tugas keseharian. Urusan rumah tangga dan tugas-tugas di luar rumah. Mengingatkan anak-anak tentang hari-hari belajar efektif di sekolah dan kampus, terutama yang sedang dalam tugas akhir. 

Minggu (29/1/22), seorang pendeta GMIT memasuki masa pensiun. Undangan disebar agar kiranya dapat mengikuti kebaktian purnalayan sang pendeta. Kabar tentang pensiunnya pendeta ini telah ada dalam ingatan beberapa waktu lalu. Ini terjadi karena ada satu tugas kecil yang kami dapatkan untuk menyokong acara. Tugas itu yakni membawa rombongan pemuda untuk menjadi petugas penyambut tamu dengan tutur budaya  yang disebut seni berbicara (art of speech). 

Seni berbicara yang dimaksud ini dalam komunitas pengguna Bahasa Meto' ada ragamnya yakni aa' asramat (Amarasi); basan (Amfo'an, Helong), natoni (Amanuban, Molo, Amanatun), takanab (Biboki, Insana, Miomafo). Semua ini menggunakan pendekatan yang sama; ada pemimpinnya yang disebut A'a'aat, dan kelompok yang dipimpin, disebut Aseter.

Kaum muda Koro'oto sudah terbiasa dengan hal ini sejak tahun 2000 ketika kami ke mbali ke kampung. Kami hidupkan budaya tutur ini dengan belajar dan menyampaikan (mengajarkan) kepada kaum muda (siswa SD, SMP) di desa Nekmese. Pembiasaan lainnya yakni, membiarkan anak-anak (siswa) untuk boleh berbicara bahasa daerah di lingkungan sekolah, padahal sebelumnya sudah tradisi di dalam desa kami, para siswa DILARANG BERBAHASA DAERAH di lingkungan sekolah.

Contoh video  berisi aa' asramat lainnya yang menggunakan pendekatan yang sama seperti ini.


Dalam video ini terlihat anak-anak PAUD/TK yang menyambut seorang pejabat dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang. Anak-anak ini dipimpin oleh seorang anak (siswa SD) yang duduk di kelas 5. Anak-anak PAUD/TK ini, pada saat penulis menulis artikel ini, mereka sudah duduk di kelas 6 SD.

Mengapa mengizinkan berbahasa daerah? 

Bahasa daerah mulai terancam punah. Ancaman kepunahan ini terjadi karena banyak faktornya. Satu dua konferensi internasional yang membahas bahasa yang terancam punah sempat penulis hadiri. Itulah sebabnya penulis sebagai guru mengizinkan para siswa berbicara bahasa daerah di lingkungan sekolah.

Penulis dan rekan-rekan guru, atau anggota majelis gereja, serta pemangku pemerintah desa terus menggiatkan penggunaan bahasa daerah dan budaya seni berbicara ini. Setiap kegiatan formal di dalam desa, atau di sekitar desa, kami akan sempatkan untuk menyapa dengan seni berbicara ini.


Bukan itu saja, terdapat pula tarian massal yang lama tidak dihidupkan. Penulis memotivasi majelis gereja untuk menerima tarian massal dengan lagunya yang bernuansa religi. Mereka menerimanya dengan sukacita.


Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline