Oleh
Muhammad Wafi Fahrian
Semburat merah pucat merobek langit yang kelabu dibekap mendung. Pada ujung-ujung ranting, desau angin menyapih dalam wartanya tentang lara. Kepada jiwa-jiwa yang dirundung rindu. Kepada setiap hati dengan jengkal kasih yang tak sampai. Kepada asmara yang senyumnya tersemai duka. Dari bilik galeri kecilnya; dengan berteman pada bayang kenang, Wafi menatap kanvas di tangannya.
Sejak tadi jemarinya berlumuran cat. Hasil lukisan itu berantakan, seperti jiwanya yang tercerai-berai oleh kepergian Sang Kekasih. Biru dan hitam mendominasi latar belakang, mencerminkan kehampaan yang merayap dalam dadanya. Ada jingga di sisi tubuh yang ia coba lukis, tapi warnanya memudar, seperti cahayanya yang redup terkikis angan dan tali temali asmara yang putus oleh irisan takdir.
Sebelum pergi meninggalkan selamanya, Sang Kekasih pernah berkata, "Kalau aku pergi lebih dulu, lukislah aku. Tapi jangan jadikan aku terlalu nyata, biarkan aku tetap menjadi mimpi."
Faktanya sekarang bagaimana? Wafi meremat kuas. Giginya bergemeretak menahan sesak. Semua panas turun melelehi pipinya oleh cairan pecundang. Tangisan? Bukan untuk seorang lelaki macamnya. Namun ini terlalu mengoyak dan memporak-porandakannya. Kenyataan pahit yang begitu sulit sirna. Sekeras apa pun Wafi mencoba, tangannya terlalu kaku untuk terangkat.
Tinggal satu goresan pada bagian matanya. Namun benar-benar berat bagai berton-ton batu ia pikul. Mata itu memaku kalbu. Seperti tempo saat nyata. Antara waktu yang diberikan semesta kepada dirinya dan Sang Kekasih. Keberpihakan cinta masih memeluk mereka dalam peraduan mata. Tatapan Sang Kekasih itu teduh hidup. Semua berarti bagai candu surga dalam rumah asmara.
Sial! hardik Wafi geram.
Kini tatapan mata itu menghukumnya. Membuat Wafi tersungkur dalam sesal dan dosa. Kuas terlepas. Dirinya menggigil tercabik kenangan dalam siratan mata perempuan itu. Seperti ada batas tak kasat mata yang menghalanginya, seakan Tuhan sendiri tak mengizinkan Wafi mengabadikan sosok itu sepenuhnya.
Hari itu, si perempuan yang dicintai wafi pergi tanpa pesan dab tanpa berpamitan. Dalam gempuran hujan; manakala perjalanan yang telah terencanakan menjadi sebuah tindakan, mobil yang ditumpangi perempuan itu mengalami tabrakan hebat dengan sebuah truk besar. Wafi masih ingat betapa ia berlari ke rumah sakit dengan napas tersengal hanya untuk menemukan tubuh yang tak lagi bernyawa.