Lihat ke Halaman Asli

David Herdy

Penulis lepas

Warung Madura 24 Jam: Penjaga Malam yang Menampar Sistem Ritel Modern

Diperbarui: 26 Mei 2025   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Foto Dok hops.id

Kadang, ketahanan ekonomi tidak selalu muncul dari modal besar, melainkan dari lampu neon kecil yang tak pernah padam di tikungan jalan.

Jam tiga dini hari. Kota sepi, jalanan lengang, dan semua toko tutup. Tapi satu tempat tetap menyala: warung Madura. Satu-satunya tempat di mana kamu masih bisa beli rokok, mi instan, atau sekadar ngobrol singkat dengan penjaganya yang belum tentu tahu namamu, tapi tahu kebiasaanmu.

Di Balik Lampu yang Tak Pernah Padam

Warung Madura bukan hanya fenomena ekonomi, tapi juga fenomena sosial. Mereka hadir bukan sekadar untuk jualan, tapi untuk berjaga. Dalam istilah tidak resmi, mereka adalah "penjaga malam" kota---bukan dalam makna keamanan, tapi dalam makna keberlanjutan hidup: dari mahasiswa yang lapar di tengah malam, pekerja shift malam, hingga pengemudi ojol yang baru pulang narik.

Ritel modern bisa menyuguhkan kenyamanan, promosi digital, dan kasir cepat, tapi tidak bisa memberi kehangatan dalam bentuk tawar-menawar atau obrolan ringan di balik rak minuman dingin. Di sinilah letak perbedaan fundamental antara sistem ekonomi berbasis relasi versus sistem berbasis algoritma.

Bukan berarti warung Madura anti-modernitas, tapi mereka mengambil posisi taktis: adaptif pada kebutuhan, bukan pada sistem. Tidak heran jika warung-warung ini terus tumbuh bahkan ketika retail modern bersaing dengan e-commerce sekalipun.

Ekonomi Akar Rumput yang Tak Terpetakan

Komunitas Madura dikenal karena solidaritasnya yang kuat. Dalam banyak kasus, satu warung dikelola oleh satu keluarga besar atau bahkan jaringan kecil dari desa asal yang sama. Saling bantu menyuplai barang, patungan sewa tempat, dan berbagi info lokasi strategis adalah praktik yang berjalan tanpa regulasi formal, tapi terbukti efisien.

Sumber daya mereka bukan berasal dari pinjaman modal ventura atau program pemerintah, melainkan dari gotong royong dan modal sosial. Ini ekonomi rakyat dalam bentuk yang paling otentik---yang sering kali tidak dilirik statistik ekonomi nasional, tapi nyata di lapangan.

Menurut laporan Katadata (2023), lebih dari 60% warung kelontong di kota besar tidak terdaftar sebagai usaha resmi, namun mampu mencetak omzet harian di atas ritel franchise kecil. Tapi karena mereka tidak masuk sistem, suara mereka sering tak terdengar dalam kebijakan publik.

Antara Ketahanan, Ketimpangan, dan Ketakpastian

Warung Madura berada di wilayah abu-abu: diakui keberadaannya, tapi tidak dilibatkan dalam pembangunan. Ketika kota-kota mengatur ulang zonasi ritel dan memberlakukan pajak usaha, posisi mereka kerap goyah. Padahal, fleksibilitas merekalah yang justru menyelamatkan banyak orang saat darurat---seperti ketika pandemi melanda dan toko-toko modern tutup lebih awal.

Apakah mereka melanggar sistem? Mungkin. Tapi sistem pun sering melupakan mereka. Mereka tidak menuntut subsidi atau promosi besar, hanya ingin dibiarkan bertahan di celah yang bisa mereka isi. Sering kali, itu berarti menyuplai kebutuhan dasar masyarakat yang hidup di pinggir kota dan di pinggir kebijakan.

Warung Madura bukan ancaman bagi ritel modern. Mereka adalah cermin: bahwa masih banyak warga kota yang tak bisa diatur dengan jam operasional, diskon digital, atau sistem kasir cepat. Mereka butuh tempat yang hidup, yang buka 24 jam, dan yang mengerti bahwa malam tak selalu berarti tidur.

Di tengah pertumbuhan ekonomi digital dan ekspansi retail modern, mungkin kita perlu belajar dari warung Madura: bahwa bertahan bukan soal siapa paling hebat, tapi siapa paling dibutuhkan ketika semua yang lain memutuskan untuk tutup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline