Lihat ke Halaman Asli

Hendri Sopian

Pembelajar

Menakar Urgensi Regulasi Pembetulan NJOP pada SPPT P5L: Demi Kepastian dan Keadilan

Diperbarui: 26 Mei 2025   17:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam sistem perpajakan nasional, keberadaan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi salah satu instrumen penting dalam memastikan ketaatan fiskal atas kepemilikan dan/atau pemanfaatan tanah dan bangunan. Namun demikian, tidak banyak yang menyadari bahwa ruang koreksi terhadap nilai jual objek pajak (NJOP) yang tercantum dalam SPPT, khususnya untuk sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan dan sektor Lainnya (P5L) yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak (DJP), masih belum memiliki pijakan hukum yang eksplisit dan memadai.

Padahal, kesalahan dalam pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) PBB adalah keniscayaan administratif yang tidak selalu bersumber dari niat buruk Wajib Pajak. Ada kekeliruan yang bersifat manusiawi, alpa, atau bahkan miskonsepsi teknis saat mengisi formulir yang kemudian berakibat pada ketetapan pajak yang tidak merefleksikan nilai sebenarnya. Ketika SPPT telah terbit dan NJOP yang tercantum ternyata lebih rendah dari yang seharusnya, tidak ada mekanisme yang memadai untuk mengakomodasi keinginan Wajib Pajak untuk memperbaikinya---selain melalui pemeriksaan yang panjang, rumit, dan sanksi administratif yang tidak proporsional.

Di sinilah letak problem yuridis dan administratif yang patut disorot. Jika pada jenis pajak lainnya seperti PPh dan PPN tersedia ruang pembetulan melalui Pasal 8 Undang-Undang KUP, maka mengapa pembetulan NJOP dalam SPPT PBB P5L tidak mendapatkan ruang yang setara?

Secara normatif, Pasal 23 UU PBB memang membuka pintu bahwa dalam hal suatu hal tidak diatur dalam UU PBB, maka UU KUP dapat menjadi rujukan. Artinya, semangat untuk membuka ruang pembetulan NJOP semestinya tidak bertentangan dengan kerangka hukum nasional. Yang dibutuhkan adalah regulasi turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan/atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk menjabarkan tata cara teknisnya.

Lebih jauh, pemberian ruang pembetulan terbatas---misalnya satu kali---dengan mekanisme penilaian individu oleh Penilai DJP justru menjadi solusi cerdas. Tidak hanya mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, tetapi juga efisien dari sisi administrasi fiskal negara. DJP tidak perlu menghabiskan sumber daya untuk pemeriksaan menyeluruh, sementara Wajib Pajak tidak harus menanggung beban sanksi 25% sebagaimana jika koreksi dilakukan lewat Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Namun untuk menjaga integritas sistem, mekanisme ini harus dibatasi. Kesempatan pembetulan sebaiknya hanya diberikan sekali, dan harus disertai dengan validasi objektif oleh DJP. Jika kemudian ditemukan penyimpangan atau indikasi moral hazard, maka proses pemeriksaan dan sanksi tetap dapat diberlakukan secara proporsional.

Melalui mekanisme ini, negara tidak hanya menunjukkan wajahnya yang tegas, tetapi juga wajahnya yang bijak. Karena pada akhirnya, kepatuhan perpajakan yang sejati lahir bukan dari ketakutan akan sanksi, tetapi dari kesadaran bahwa sistem yang adil akan selalu melindungi hak dan kewajiban setiap warga negaranya.

Sudah saatnya kita merekonstruksi ulang paradigma administrasi PBB, bukan semata sebagai alat pemungutan, tetapi sebagai bagian dari pelayanan publik yang transparan, responsif, dan berpihak pada asas keadilan substantif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline