Lihat ke Halaman Asli

Hendri

Dosen

Kartini Wanita Inspirasi Literasi Masa Kini

Diperbarui: 25 April 2024   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Abad 21 menjadi tantangan bagi masyarakat dalam membangun kesadaran literasi membaca. Di saat masyarakat tengah disuguhkan dengan kemajuan teknologi sebagai alat dalam mempermudah masyarakat dalam segala hal, kerap kali tidak digunakan dengan baik dan bijak padahal jika dimanfaatkan dengan baik niscaya akan berdampak baik dalam kehidupan.

Membaca adalah sarana manusia dalam meningkatkan kualitas pengetahuan, wawasan serta cara manusia dalam membangun intelegensi otak agar mampu beradaptasi dengan keadaan baru bahkan membentuk sesuatu yang baru.

Membaca bukan sarana pokok hidup manusia, tapi manusia tanpa  kesadaran membaca maka secara tidak langsung ia sudah mempersiapkan liang kuburnya sendiri, sebab George R. R. Martin, Penulis buku Game of Thrones pernah berkata "Seorang pembaca hidup ribuan kali sebelum ia mati".

Pemerintah dunia berlomba-lomba dalam meningkatkan kualitas baca atau literasi masyarakat. Setidaknya ada 10 Negara yang tercatat dengan rata-rata tingkat literasi tinggi menurut versi World Population Review, yaitu: (1) Uzbekistan pada tahun 2018 dengan tingkat literasi 99,99 %; (2) Ukraina pada tahun 2012 dengan tingkat literasi 99,97 %; (3) San Marino pada tahun 2018 dengan tingkat literasi 99,97%; (4) Latvia pada tahun 2018 dengan tingkat literasi 99,89%; (5) Estonia pada tahun 2011 dengan tingkat literasi 99,89 %; (6) Republik Ceko pada tahun 2016 dengan tingkat literasi 99,83%; (7) Lituania pada tahun 2011 dengan tingkat literasi 99,82%; (8) Tajikstan pada tahun 2014 dengan tingkat literasi 99,80%; (9) Azerbaijan pada tahun 2017 dengan tingkat literasi 99,79%; (10) Kazaktan pada tahun 2018 dengan tingkat literasi 99,78%. 

Lalu bagaimana dengan tingkat literasi bangsa Indonesia? Posisi dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini dalam kualitas minat baca sangat rendah dapat dilihat dari data UNESCO yang menyatakan bahwa 0,00 1% minat masyarakat Indonesia saat ini. Jadi dari 1000 orang masyarakat Indonesia hanya 1 orang, dari data ini memperlihatkan bahwa kondisi kesadaran literasi masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan.

Hasil survei Asosiasi Penerbit Indonesia mengungkapkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia dalam minat bacanya hanya 0,9 buku selama setahun. Muhammad Syarif Bando, Kepala Perpustakaan Nasional mempertegas bahwa durasi membaca rata-rata Indonesia sekitar 1 jam 36 menit per-hari dan jumlah buku yang dibaca rata-rata dua buku per-tiga bulan. Jika dilihat dari hasil survei sangat menyedihkan, sedangkan kualitas SDM Indonesia ditentukan atas dasar kualitas literasi masyarakat Indonesia.

Belajar dari Sosok RA. Kartini

Kartini dengan nama panjang Raden Ajeng Kartini lahir 21 April 1879 dengan 8 bersaudara dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat dengan Mas Ajeng Ngasirah. Kartini bersekolah di Europese Lagere School (ELS), yakni sekolah yang diperuntukkan kepada anak-anak Belanda, anak-anak Indo-Belanda, dan anak pejabat pribumi. Kartini tidak melanjutkan pendidikannya ke HBS (Hoogere Burgerschool) setamat ELS, karena ia harus menjalani masa dipingit, sebagai suatu tradisi dalam masyarakat Jawa.

Menjadi seorang Kartini tidaklah mudah. Sosok yang memperjuangkan emansipasi wanita, selalu berupaya untuk mendapatkan kesempatan yang sama seperti apa yang diperoleh kaum Adam pada masa itu, sebab kondisi saat itu perempuan tidak diperkenankan untuk mendapatkan Pendidikan hanya perempuan bangsawanlah yang layak untuk mendapatkan Pendidikan. Paradigma itu sanggat bertentangan dengan akal sehat Kartini, sebab jika laki-laki mampu kenapa tidak untuk perempuan.

Kartini dalam memperjuangkan Pendidikan untuk kaum Hawa tidaklah mudah, Ia harus melawan arus budaya yang sudah lama di bangun. Akses Pendidikan di tutup dan bahkan dalam memperoleh kesempatan untuk membaca buku-buku harus berdarah-darah kuatir diketahui oleh keluarga padahal Kartini cuma ingin menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya "konco wingking" saja tapi ia mampu menentukan pilihan hidup tanpa harus dipaksa oleh orang tua dan menjangkau pendidikan setinggi-tingginya.

Tindakan yang dilakukan oleh seorang Kartini buka tanpa alasan, muncul kesadaran itu karena kegemaran Kartini dalam membaca buku, berita dan tulisan-tulisan lainnya. Dampak Kegemarannya dalam membaca buku, membuat wawasan Kartini menjadi lebih terbuka. Kemudian muncul pemikiran ingin memperjuangkan haknya sebagai perempuan. Kartini mulai memberi perhatian lebih pada adanya gerakan emansipasi wanita, sebab Kartini yakin bahwa perempuan juga mampu seperti laki-laki yang dapat belajar lebih tinggi. Walaupun begitu, Kartini sendiri tidak sampai pada Pendidikan tinggi karena sudah terlanjur dinikahkan oleh orang tuanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline