Lihat ke Halaman Asli

Harry Dethan

TERVERIFIKASI

Health Promoter

Ketika Edit Foto AI Berlebihan Mengusik Idola

Diperbarui: 13 September 2025   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Instagram Sandy Walsh

Teknologi kecerdasan buatan (AI) hari ini mampu melakukan hal-hal yang dulu hanya bisa dibayangkan dalam film fiksi ilmiah. Satu klik bisa membuat wajah lebih halus, senyum lebih memesona, bahkan mengubah latar menjadi pemandangan spektakuler. Namun, di balik kemudahan itu, muncul fenomena yang kian meresahkan yakni edit foto AI berlebihan yang menjerat idola atau selebriti ke dalam dunia digital yang tak lagi mereka kenali.

Dalam hitungan detik, aplikasi berbasis AI bisa merombak wajah seseorang. Jerawat hilang, pipi tirus, cahaya mata berkilau. Lebih jauh lagi, teknologi deepfake memungkinkan wajah idola ditempelkan pada tubuh atau adegan yang sama sekali bukan milik mereka. Di permukaan, ini tampak sebagai hiburan atau kreativitas. Tetapi, bagi para idola yang wajahnya menjadi "bahan editan", hal itu sering kali justru menghadirkan rasa tidak nyaman.

Bayangkan, kamu seorang figur publik yang bekerja keras membangun citra profesional dan personal. Lalu tiba-tiba, foto wajah kamu beredar dalam bentuk yang telah dipoles, dibelokkan, atau bahkan ditempatkan pada konteks yang tidak pantas. Inilah kenyataan yang dialami banyak selebriti atau atlet.
Mereka merasa tidak lagi memiliki kendali atas tubuh dan wajah mereka sendiri di dunia digital. Bukan hanya reputasi yang dipertaruhkan, tetapi juga kepercayaan publik dan rasa aman dalam kehidupan pribadi.

Deepfake menjadi wajah paling ekstrem dari manipulasi visual ini. Teknologi tersebut mampu menciptakan foto atau video palsu yang seakan-akan nyata. Beberapa atlet, public figure, serta selebriti internasional dan lokal telah menjadi korban, wajah mereka dipasang pada konten pornografi atau video hoax. Hasilnya? Trauma psikologis, reputasi hancur, dan sulitnya menghapus jejak digital yang sudah terlanjur viral.

Kasus-kasus ini membuktikan bahwa teknologi bukan sekadar alat netral, melainkan bisa menjadi senjata yang melukai martabat manusia.

Masalah edit foto AI bukan hanya soal estetika. Ia membuka pintu bagi berbagai bentuk kejahatan digital seperti pencurian identitas, akun palsu, penipuan daring, hingga doxing dan cyberbullying. Para idola, yang wajahnya sudah dikenal publik, menjadi target empuk. Dan ketika serangan digital ini meluas, dampaknya tidak berhenti pada mereka saja. Fans, keluarga, bahkan masyarakat luas ikut terseret dalam arus manipulasi informasi.

Fenomena ini menuntut langkah serius. Pengguna harus kritis dan bertanggung jawab, menyadari bahwa setiap klik dan share bisa berimplikasi besar. Pemerintah dan platform media sosial wajib memperkuat regulasi, termasuk teknologi pendeteksi deepfake yang efektif. Etika digital perlu ditegakkan sehingga kreativitas seharusnya tidak menabrak hak asasi, martabat, dan rasa aman orang lain.

Seperti yang ditegaskan para ahli, AI hanyalah alat. Yang menentukan dampaknya adalah cara kita menggunakannya.

Tidak ada salahnya mengagumi idola, mengedit foto dengan filter lucu, atau membuat karya kreatif berbasis AI. Namun, saat editan itu menyalahi batas, membuat idola merasa tidak nyaman, bahkan merugikan mereka secara sosial dan psikologis, saat itulah kita telah kehilangan arah.

AI seharusnya menjadi jembatan untuk berkarya, bukan jurang yang menjatuhkan orang lain. Menghormati idola berarti juga menjaga citra mereka tetap otentik, apa adanya, tanpa harus merampas wajah mereka demi kepuasan digital sesaat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline