Lagu Indonesia Menghilang dari Kafe: Dilema Royalti
Di tengah gegap gempita perkembangan industri kreatif, ironi justru muncul dari tempat yang selama ini menjadi etalase ekspresi budaya populer: kafe dan restoran. Di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, lagu-lagu Indonesia perlahan menghilang dari daftar putar. Bukan karena kalah bersaing secara estetika, tetapi karena tuntutan administratif berupa kewajiban membayar royalti yang dianggap membebani pelaku usaha.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan playlist, melainkan cerminan benturan antara perlindungan hak cipta dan dinamika ekonomi sektor jasa. Ketika lagu Indonesia tak lagi terdengar di ruang-ruang publik yang mestinya menjadi panggung promosi, yang muncul adalah ruang hening yang sesungguhnya gaduh dalam wacana kebijakan publik.
Royalti dan Ruang Publik: Apa yang Terjadi?
Kewajiban membayar royalti atas pemutaran lagu-lagu berlisensi di ruang komersial merupakan bagian dari upaya perlindungan hak cipta. Di Indonesia, hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam konteks ini, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menjadi otoritas yang menegakkan aturan dan menarik royalti dari para pengguna karya musik.
Namun, sejak mencuatnya kasus hukum terhadap salah satu restoran mie yang dianggap melanggar aturan royalti, banyak pelaku usaha di Tebet mulai mengambil langkah defensif. Sejumlah kafe memilih mengganti lagu Indonesia dengan musik Barat, instrumental, atau bahkan memilih tidak memutar musik sama sekali. Semua ini dilakukan untuk "bermain aman" agar terhindar dari sanksi hukum.
"Dulu sering setel lagu Indonesia, tapi sekarang diganti lagu Barat karena takut dituntut," ujar Ririn, karyawan sebuah kafe di Jalan Tebet Barat, kepada Kompas.com. Narasi serupa juga disampaikan Gusti, pekerja di sebuah restoran mie di Tebet Raya, yang mengatakan manajemen memilih suasana sunyi tanpa musik agar tak terjerat masalah.
Biaya yang Tak Terlihat
Salah satu argumen utama pelaku usaha adalah soal pembebanan biaya. Bagi kafe-kafe kecil atau restoran keluarga, kewajiban membayar royalti---yang dihitung berdasarkan kapasitas tempat duduk, jenis usaha, dan durasi pemutaran musik---dianggap sebagai tambahan beban operasional yang signifikan.
Di sisi lain, tidak semua pelaku usaha memahami alur distribusi royalti. Masih ada keraguan apakah uang yang dibayarkan benar-benar sampai kepada musisi dan pencipta lagu. Ketidaktransparanan dan kompleksitas dalam sistem manajemen kolektif kerap menimbulkan ketidakpercayaan. Akibatnya, bukan hanya lagu Indonesia yang tersingkir, tetapi juga semangat untuk mendukung ekosistem musik nasional.