Di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai keluarga dan gotong royong, ada bayi yang dijual seharga motor bekas.
Dan bukan satu-dua. Ada sindikat, ada alur yang rapi, ada paspor, ada pembeli dari luar negeri. Miris? Tentu.
Tapi lebih dari itu: ini sinyal darurat---bukan hanya soal hukum, tapi juga soal nurani dan kelalaian sistem.
Seperti dilaporkan Kompas (18 Juli 2025), sindikat penjualan bayi dari Jawa Barat ke Singapura terungkap oleh Polda Jabar.
Modusnya cukup "kreatif"---jika boleh disebut demikian dalam nada getir.
Mereka menyasar perempuan rentan: korban kekerasan, pekerja migran, ibu muda tanpa dukungan keluarga, atau mereka yang terhimpit utang, bahkan korban jebakan aplikasi judi online.
Bayi yang lahir dari rahim-rahim rapuh ini kemudian "diadopsi" secara ilegal oleh pihak asing dengan bantuan calo dan dokumen kependudukan palsu.
Ya, ini bukan sekadar perdagangan manusia. Ini penyalahgunaan sistem, sekaligus cermin betapa mudahnya kita memalsukan identitas---dengan celah yang dibiarkan menganga oleh negara.
Kenapa perempuan-perempuan ini bisa tergoda? Karena mereka sendiri merasa tidak punya pilihan.
Kita sering menyalahkan individu: "Ibu macam apa yang menjual anaknya sendiri?" Tapi mari balik pertanyaannya: negara macam apa yang membiarkan perempuan-perempuan hamil tanpa perlindungan, tanpa pendidikan reproduksi, dan tanpa akses layanan sosial?