Lihat ke Halaman Asli

Aji Hanafi

Menulis

Pandangan Islam Mengenai Sistem Dropship Online

Diperbarui: 26 November 2020   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di Era digital ini teknologi sangat berkembang dengan pesat, beberapa aspek seperti pendidikan, infrastruktur dan juga kebutuhan sehari-hari. Salah satu perkembangan yang kian pesat adalah pada sektor penjualan barang dan jasa. Ditandai dengan banyaknya start-up yang berkembang di era ini, seperti Gojek, Grab, Bukalapak, Shopee dll. Masyarakat semakin dimudahkan untuk memenuhi kebutuhan dengan aplikasi ini. Aplikasi e-commerce seperti Shopee, Bukalapak, Tokopedia, dan sejenisnya menyediakan barang-barang yang kita butuhkan tanpa harus pergi ke pasar ataupun supermarket untuk mendapatkannya. Kita hanya tinggal membeli barang itu via aplikasi dan transfer pembayaran. Kemudian nanti ada kurir yang mengantarkan barangnya sampai ke rumah kita.

Perkembangan e-commerce di Indonesia juga sangat cepat, apalagi dimasa pandemi ini banyak orang yang menghindari untuk bertemu dengan banyak orang, e-commerce menjadi cara efektif dan efisien untuk membeli barang. Semakin meluasnya bisnis online pun memunculkan banyak bisnis baru, salah satunya adalah sistem dropship, yakni penjual menjual barang tanpa barang tersebut telah dimiliki sebelumnya. Kemudahan yang didapat dari dropshipper adalah tidak memerlukan modal dalam penjualannya. Namun dalam Islam terdapat aturan bahwa kita tidak boleh menjual barang yang belum kita miliki. Lalu apakah bisnis dropship ini diperbolehkan?

Sebagai seorang muslim tentunya apa yang kita lakukan harus sesuai dengan syariah islam yang ada, apalagi dalam mencari rezeki. Kita dituntut untuk mencari rezeki yang halal dan barokah. Maka dari itu tentunya kita harus mengetahui lebih jauh bagaimana pandangan islam mengenai penjualan dengan sistem dropship ini.

Disini ada dua macam sistem dropship menurut pandangan islam yang pertama yaitu dengan izin dari supplier dan yang kedua tanpa izin dari supplier.

Mendapat Izin Dari Supplier

Untuk sistem ini biasanya dilakukan dengan cara dropshipper meminta izin kepada supplier untuk menjualkan ataupun mengiklankan barangnya. Selaku orang yang diijinkan maka sistem dropship ini masuk kategori bai'u ainin ghaibah maushufatin bi al-yad. Yaitu jual beli barang yang belum ada tempat namun bisa diketahui sifat dan ciri khas barangnya dan diperbolehkan sebab pemberian kuasa. Berdasarkan pernyataan diatas, maka berlaku rincian hukum. Syekh Taqiyuddin al-Hushny menjelaskan dalam ibarat berikut: 

"Jika barang 'ain ghaibah' adalah berupa barang yang umumnya tidak mudah berubah, misalnya seperti wadah (tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut tidak mudah berubah oleh waktu ketika mulai dilihat (oleh yang dipesani) dan dilanjutkan dengan membeli (oleh yang memesan), maka akad (jual beli 'ain ghaibah) tersebut adalah sah disebabkan tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud."(Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifyatu al-Akhyar fi hilli Ghyati al-Ikhtishr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241).

Jadi kesimpulannya jual-beli dengan sistem ini menggunakan akad salam, yaitu jual beli dengan cara pemesanan.

Tidak Mendapat Izin Dari Supplier

Untuk sistem ini tidak dapat mendapat izin dari supplier , biasanya sistem ini dilakukan dengan cara dropshipper membuat akun sendiri . ia mencantumkan banyak barang dan menjualnya tanpa seizin supplier. Ia hanya berperan mencarikan barang tanpa kesepakatan imbalan (ujrah) dengan pedagang pertama.

Jual beli barang seperti ini termasuk jual beli ainun ghaibah , yaitu jual beli barang yang belum ada ditempat. Jual beli dengan sistem seperti ini kebanyakan ulama bersepakat mengharamkan, kecuali mazhab Hanafi yang masih membolehkan , asalkan ia mengetahui ciri-ciri umum barang. Sebagaian dari kalangan Syafi'iyah  juga masih ada yang menyatakan boleh, namun sifatnya terbatas pada barang tertentu yang mudah dikenali dan tidak gampang berubah ciri fisiknya. Salah satu ulama dari kalangan Malikiyyah , yakni Syekh Wahbah Zuhaily menyampaikan dalam Al-Fiqhu al-Islan wa Adillatuhu 

"Jual beli makelarah adalah boleh. Dan upah yang diambil oleh makelar adalah halal karena ia didapat karena adanya amal dan jerih payah yang masuk akal." (Lihat: Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islan wa Adillatuhu, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyayah,tt.,:5/21).

Namun, sayangnya dalam mazhab maliki tetap mensyaratkan adanya al-ajru, yaitu upah bagi makelar, yang berarti harus ada izin langsung dari pihak supplier. Jadi, satu-satunya mazhab yang membolehkan dalam masalah ini adalah mazhab Hanafi saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline