"Dalam tradisi tasawuf, seni adalah jalan pengenalan diri, dan pengenalan diri adalah jalan menuju Tuhan." Jejak-jejak spiritual ini hadir tak hanya dalam teks suci, tapi juga dalam suara kacaping yang mengalun dan dinyanyikan para seniman Mandar.
Seni tradisi sering kali menyimpan dimensi spiritual yang tersembunyi di balik irama dan bait. Demikian pula dalam seni pakkacaping, salah satu bentuk pertunjukan musik rakyat Mandar yang bukan sekadar hiburan, tetapi juga menjadi medium pengungkapan religiositas dan spiritualitas masyarakat pesisir Sulawesi Barat. Di dalamnya, terdapat satu unsur utama: syair masaala---lirik-lirik yang mengandung ajaran Islam dan mencerminkan nilai-nilai sufistik yang mendalam.
Pakkacaping tidak semata-mata sebuah pentas musik etnik. Ia adalah ritual kolektif, bagian dari nazar (tinjaq) masyarakat Mandar, biasanya digelar untuk menandai peristiwa penting seperti khitan, khatam Al-Qur'an, atau pernikahan. Dalam konteks ini, kacaping menjadi suara harapan, ungkapan syukur, dan doa yang dinyanyikan. Ia mengalun lembut menyentuh langit dan bumi.
Paragai: Maestro Kacaping dan Penyair Sufistik
Salah satu maestro kacaping yang patut dikenang adalah Paragai, seorang pemain kacaping legendaris dari Saliboqo, Samasundu. Pada dekade 1980-an hingga 1990-an, nama Paragai menjulang bukan hanya karena kepiawaiannya memainkan kacaping, melainkan juga karena kedalaman spiritual dalam syair-syair yang ia lantunkan. Syairnya menjelma menjadi dzikir, renungan, bahkan wejangan sufistik bagi para pendengarnya.
Setiap kali memulai permainannya, ia mengucapkan: "Hu Allah, dzi karana Allah" (Dia Allah, karena Allah).
Dalam memainkan kacaping, Paragai kerap menyisipkan kata-kata simbolis seperti alang (alam kecil), makkealang (alam besar), membolong (menyatu), dan dzipembolongngi (objek penyatuan), seperti dalam syair berikut:
Cobama' dibattuannianga',
(Silakan beri aku pemahaman)
Anu dzi battuananna,
(Inilah pengertiannya)
Inna alang di makkealang,
(Mana alam di atasnya alam)
Kamenang di kaiyyanna,
(Yang paling besar)
Naiyya todzi' mala membolong,
(Bisa menyatu/meliputi)
Mala na dzipembolongngi.
(Kepadanya kita bisa luruh/menyatu)
Syair ini mengajak pendengar merenungi keterhubungan antara mikrokosmos (alang) dan makrokosmos (makkealang)---gambaran sufistik tentang keterhubungan makhluk dengan Tuhan (al-Haqq). Istilah "membolong" dan "dzipembolongngi" mengacu pada konsep tauhid, yang mengarah pada pandangan wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi), sebagaimana dikembangkan oleh Ibnu Arabi.
Dalam pemikiran sufistik, manusia adalah jirm shaghir (alam kecil) yang memuat al-'alam al-akbar (alam besar). Ia adalah miniatur kosmos, tempat tajalli (manifestasi) nama-nama Tuhan.