Ada hal menarik di pemilihan presiden Indonesia 2014, tiga tahun lalu. Prabowo yang menjadi sponsor utama bagi Walikota Solo saat itu (Jokowi) menjadi Gubernur DKI Jakarta, tiba-tiba menjadi lawan tarung di Pilpres 2014. Masyarakat dan media terkena imbas, runcingnya pertarungan dua kutub. Di desa kelahiran ibu saya, beberapa tokoh masyarakat jadi tidak bertegursapa lantaran beda jagoan kala itu. Di banyak tempat juga sempat terjadi hal serupa. Beruntungnya, saya tidak terpengaruh sama sekali.
Saya terus mengamati pola yang terjadi menjelang pilpres 2014, sampai akhirnya saya menemukan sebuah hipotesis. Apa itu? Prabowo mempunyai peran penting untuk kemenangan Jokowi. Ada pola menarik yang terjadi jelang pilpres 2014 yang membuat hipotesis itu tergambar jelas di ranah analitis saya.
Pertama, muncul isu akan terbentuk koalisi poros islam seperti saat pemenangan Gus Dur.
Kedua, Demokrat mengadakan kompetisi di tubuh internal partai untuk menjaring bakal calon presiden yang akan diusung di 2014. Dahlan Iskan adalah calon kuat yang cukup dikenal masyarakat melalui berbagai prestasinya. Terlebih melalui jaringan koran Jawa Pos Grup.
Ketiga, Gerindra meminang PAN supaya Hatta Radjasa bersanding menjadi wakil presiden bagi Prabowo. Perlu dicatat SBY dan Hatta Radjasa adalah besan.
Keempat, Yusuf Kalla didaulat untuk berpasangan dengan Jokowi. Seperti diketahui bahwa Yusuf Kalla adalah kader Golkar sekaligus memiliki kedekatan emosional dengan NU.
Kelima, PKS ditarik dalam koalisi Gerindra-PAN. Secara spiritual PKS lebih dekat dengan Muhammadiyah ketimbang NU.
Keenam, Golkar bimbang menentukan arah tapi akhirnya tidak merapat ke Jokowi.
Ketujuh, Demokrat tidak mampu mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. SBY bimbang dan berakhir pada sikap netral.
Bagi saya, point SBY dan Demokrat menjadi netral di pilpres 2014 adalah goal dari sebuah strategi cantik.
Dua kutub kuat terbentuk, Jokowi vs Prabowo. Dua kutub yang mampu membungkam Demokrat agar tidak mampu tanding di kancah pilpres 2014. Mengapa demikian?