Tanggal 5 Juni sejak tahun 1974 diperingati sebagai hari lingkungan hidup. Sejarah hari lingkungan hidup berawal dari rapat pertama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm, Swedia.
Kasus Minamata di Jepang dan asap kabut di Eropa ketika itu sangat mencemaskan dunia. Dunia menyadari bahwa kualitas lingkungan makin menurun ketika itu. Kini kita dilanda pandemi Covid 19, bagaimana kita memaknai hari lingkungan hidup dalam situasi yang masih mencekam?.
Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip deklarasi Stockholm itu terus dijalankan oleh bangsa-bangsa di dunia seperti pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di masing-masing negara di dunia memiliki kendala.
Ekonomi global yang dikenal kapitalisme global menjadi penghalang utama. Hampir semua negara di dunia mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan dampak lingkungan.
Di Indonesia ego sektoral dan mengejar pertumbuhan ekonomi yang dihitung secara angka menjadi yang terutama. Menghadirkan investor menjadi target utama dengan mengabaikan kearifan lokal. Di tengah konflik dahsyat investor dan kearifan lokal, muncul gagasan eko wisata, agrowisata.
Prinsip eko wisata dan agro wisata adalah pertumbuhan ekonomi dengan menjaga fungsi lingkungan tetap baik. Konsep eko wisata dan agro wisata tidak begitu menggiurkan dibandingkan pertumbuhan ekonomi dengan kehadiran investor.
Padahal, kehadiran investor hampir di seluruh Indonesia memunculkan konflik dengan penduduk lokal. Dalam upaya menghadirkan investor, maka pemerintah pasang badan melawan penduduk lokal supaya investor dapat bekerja menancapkan bisnisnya.
Berbagai upaya telah dilakukan berbagai pihak untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Tetapi kendalanya selalu ego sektoral dan orientasi pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangakan isu lingkungan. Isu lingkungan tidak menarik karena membutuhkan investasi yang tinggi dan teknologi yang tinggi pula.
Tetapi, jika resiko lingkungan yang beruk menjadi pertimbangan maka, semua manusia di kolong langit ini akan mempertimbangkan lingkungan. Sebagai contoh limbah pabrik membutuhkan teknologi yang canggih untuk mengelola limbah cair agar limbah akhir kualitasnya baik ketika dibuang ke sungai. Demikian juga limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) membutuhkan teknologi agar limbah berbahaya itu tidak beresiko ke lingkungan.
Dalam konteks pandemi Covid 19 ada yang menarik dari perspektif lingkungan hidup. Covid 19 memaksa manusia di kolong langit ini untuk stay at home dan work from home. Stay at home dan work from home berdampak baik bagi bumi seperti menurunnya emisi, kurangnya macet, kedekatan keluarga, penurunan penggunaan kertas karena sudah serba elektronik, menurunnya eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), dan lain sebagainya.
Rapat Gabungan DPR Menjadi Model Ramah Lingkungan