Lihat ke Halaman Asli

Menuju Hari Museum Indonesia

Diperbarui: 3 Oktober 2025   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menuju Hari Museum Indonesia

Oleh Gunoto Saparie

Ada yang tak kunjung selesai dalam ingatan. Sesuatu yang lama, sesuatu yang ditinggalkan, tapi tak pernah benar-benar mati. Museum, mungkin, adalah cara kita menyimpan sisa-sisa waktu.

Kementerian Kebudayaan beberapa hari lalu menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD---Focus Group Discussion) Rancangan Undang-Undang tentang Permuseuman dibicarakan di sebuah ruang bernama Graha Utama, Jakarta. Sebuah nama yang besar, seperti besar pula ambisi untuk mengatur bagaimana sebuah institusi bernama museum hadir di negeri ini.

Tetapi undang-undang, sebagaimana hukum lain, tak pernah bisa menampung sepenuhnya apa yang disebut ingatan. Ia hanya bisa membuat garis, aturan, prosedur. Ia hanya bisa memberi ruang untuk benda-benda yang sudah mati, dengan asumsi bahwa yang mati bisa dihidupkan kembali lewat rak kaca, label nama, dan tata cahaya.

Museum, dalam arti tertentu, memang selalu melibatkan kematian. Sebuah keris yang dulu pernah menyalakan perang hanya akan berkilau bisu di balik etalase. Sebuah topeng yang dulu menakutkan desa, kini tinggal wajah kayu di balik lampu sorot.

Kita menonton benda-benda itu dengan kagum, tetapi juga dengan jarak. Kita mungkin merasa berdekatan dengan masa lalu, tetapi yang kita lihat sebenarnya hanyalah fosil. Museum adalah kuburan yang ditata dengan rapi, dan barangkali itulah keindahannya.

Tetapi bukankah setiap bangsa membutuhkan kuburan? Tempat untuk menyimpan yang telah lewat, tempat untuk merawat yang tak lagi hidup, tempat untuk berziarah ke dalam dirinya sendiri.

Maka tak mengherankan bila pemerintah merasa perlu membuat Rancangan Undang-Undang tentang Permuseuman. Benda-benda lama itu bukan sekadar benda: ia adalah legitimasi, ia adalah memori kolektif, ia adalah sesuatu yang bisa dipakai untuk menjelaskan siapa kita. Dan siapa kita, dalam politik, selalu sesuatu yang dipertaruhkan.

Tentu, museum bukan hanya tentang benda. Ia tentang narasi. Tentang bagaimana sebuah bangsa memilih untuk menceritakan dirinya. Tentang apa yang ditampilkan, dan apa yang disembunyikan.

Di sebuah museum di Jakarta, saya pernah melihat diorama peristiwa 1965. Figur-figur lilin dengan wajah kaku berdiri sebagai saksi atas sebuah tragedi. Tapi setiap pengunjung tahu, diorama itu hanyalah sebuah versi. Sebuah ingatan resmi yang dengan sadar menghapus suara-suara lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline