Lihat ke Halaman Asli

Syukron

Akademisi hukum

Media sebagai Medium Pendidikan Politik Masyarakat

Diperbarui: 15 Desember 2018   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia saat ini disibukkan informasi  pencalonan presiden. Berbagai media tak luput memberitakan kedua calon presiden kita, mulai dari berita statmen indonesia bubar, politik genderuo, sontoloyo,tempe setipis ATM, budeg dan tuli, dan KKB.

Semua media mengiring kita untuk mengenal ucapan-ucapan calon presiden untuk mempengaruhi pembaca dan pendengar agar tergiring pada satu calon atau saling menjatuhkan lewat media yang berafiliasi dengan salah satu Calon presiden.

Pengiringan opini dan berita di  Media secara tidak langsung mendidik masyarakat dengan  Pendidikan politik pragmatis dan rasial. Secara tidak langsung pendidikan politik yang selama ini masyarakat terima  adalah "kita harus menjatuhkan lawan dengan cara apapun agar kita menang." 

Bukan bagaimana menang dengan cara terhormat. salah satu contoh berita tantangan solat  terhadap prabowo, isu anti islam. Sebab masyarkat selama ini dididik oleh media bukan dari subtansi politik yang harus dijalankan karena media saat ini hanya sebatas medium pencari uang bukan memberitakan subtansi-subtansi dalam berpolitikan di indonesia.

Ketika media terus memberikan opini dan berita untuk mengiring masyarakat menjadi pragmatis dan rasial tingggal tunggu waktunya Indonesia perang saudara. Jejak-jejak rasial di indonesia sudah terbentuk berabad-abad sejak masa kerajaan. 

Melihat sejarah kerajaan Hindu,Budha dan Islam sampai kerajaan Islam runtuh. Salah satu contoh politik pragmatis dan rasial adalah mataram islam yang di adu domba oleh penjaja dan akhirnya matram islam terpecah menjadi empat bagian: kasunanan suryakarta, mangkunegaraan, kesultanan yogyakarta, mangkubumi. Itu hanya segelintir sejarah politik pragmatis dan rasial yang ada di indonesia.

Indonesia pun kalau diklasifikasi secara fisik ditemukan bangsa yang berbeda-beda kalau diklasifikasi ada tiga bangsa di indonesia: Indonesia timur(papua), Indonesia bagian tengah (nusatengara, maluku) Indonesia bagian barat ( jawa,sumatera,kalimantan). Dilihat dari fisik indonesia bisa terancam konflik rasial antar suku.

Dalam pertautan gaya kepemimpinan di indonesia bisa juga timbul konflik ketika media memgiring opini dan berita yang rasial dan pragmatis. Indonesia akan terjadi konflik internal pada rakyat indonesia ketika media terus mengiring kearah itu. 

Gaya kepemimpinan di indonesia berbeda-beda antara sipil dan TNI. Jejak sipil sebagai presiden ada 5. Sedangkan dari militer ada 2. Saya ambilkan contoh kepemimpinan soeharto dilihat dari gaya kepemimpinan militer. Dalam sebuah buku praktek relasi kekuasaan soeharto dan krisi ekonomi 1997-1996( fredy b.l tobing) kekuasaan suharto berkutik pada militer semua pejabat pada saat itu diisi oleh militer dan kroni-kroninya.

Berbeda dengan kepemimpinan sipil seperti Gus dur, megawati, habibi. Mereka membuka peluang kepada semua warga indonesia untuk berpartisipasi membangun indonesia dengan diamandenenya UUD 45 hak asasi manusia dihidupkan kembali, semua aspek diperbaharui seperti otonomi daerah, kebebasan pres yang didalamnya adalah media. 

Kebebasan pers seharusnya media tidak memberikan pendidikan politik pragmatis dan rasial. Karena akan berdampak kurang baik bagi keberlangusngan indonesia. Pastinya media berbicara fatka dan data dalam hal itu disini tidak menafikan itu akan tetapi media seharusnya menjadi jembatan bagi masyarakat untuk mengkonsumsi politik yang subtansi bukan lagi media menjadi kawan dan lawan yang berafiliasi dengan calon presiden hanya untuk merebut kekuasaan dengan melalui rasial.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline