Pagi itu, saat saya sedang santai di ruang tamu, saya buka aplikasi X (Twitter) di smartphone saya dan menemukan sebuah video seorang anak kecil. Berbaju kaus lengan panjang warna hijau dongker polos, ia duduk di sebuah kursi dengan setting latar dan pencahayaan yang agak redup. Dalam video itu ia memberikan semacam kata-kata penyemangat bak motivator untuk para 'perintis' di luar sana.
Ia bilang tidak masalah jika kamu terlahir sebagai seorang perintis. Santai saja, hidup sebagai perintis sungguh sangat menyenangkan, mencari-cari jalan mana yang harus kamu ambil, membuka jalan untuk orang lain bisa lewat. Intinya ia mau bilang lebih seru jadi perintis daripada pewaris.
Sesaat saya tersenyum geli. Bukan karena wajah si bocah yang lucu, tapi karena ada ironi yang tak bisa saya abaikan di balik video itu.
Entah kenapa setiap saya memperhatikan kata demi kata yang keluar dari mulut anak itu, saya semakin terbayang dengan anak-anak jalanan yang mungkin saat ini sedang duduk di trotoar menunggui gerobak sate milik bapak ibunya.
Membandingkan lagi posisi si bocah dalam video itu, duduk manis di kursi yang terlihat nyaman dengan baju bagusnya dan interior yang cukup estetik dan mewah itu dan yapping soal strugglenya kehidupan perintis, rasanya hati ini miris.
Saya langsung terkenang pada Pak Diman, tetangga masa kecil saya. Seorang penjahit tua dengan mesin jahit tua, tinggal di sebuah rumah tua yang belum lunas saat saya masih sering berjumpa beliau. Saat itu saya berumur 13-an tahun dan beliau sudah 70-an tahun.
Menurut saya beliau adalah perintis dalam bentuk paling murni: tanpa modal, tanpa warisan, tanpa koneksi. Hanya ada keterampilan menjahit dan semangat yang seperti tambalan, harus terus dijaga agar tidak sobek dan berantakan. Tapi tidak ada kamera yang merekamnya saat itu. Tidak ada konten inspiratif dengan musik dramatis yang mendokumentasikan kerasnya kehidupan beliau. Tidak ada.
Menonton ulang video itu saya malah semakin membayangkan bagaimana remuknya hati para perintis sungguhan yang tengah duduk di emperan pasar, mengatur napas dan menarik doa sedalam-dalamnya sebelum membuka lapak-lapak jualannya. Saya sedang membayangkan ekspresi orang-orang seperti itu kala melihat video anak kecil ini tadi.
"Jadilah perintis," katanya. Tapi ia mengucapkannya dari ruang makan rumah mewah bapak ibunya, sembari mungkin bersiap naik mobil ke kantor bapak atau ibunya yang sudah punya investor dan gurita bisnis di mana-mana.
Katanya mulai dari nol. Katanya hidup cuma soal mindset tapi brandingan-nya di video kok full package? Dek, sungguh. Perjuangan yang sebenarnya tidak pernah seindah feed Instagram. Kadang baunya lebih seperti karung beras yang basah, atau tumpukan faktur yang belum terbayar.