Lihat ke Halaman Asli

Dari Kacamata Kita

Diperbarui: 22 November 2016   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia yang kita tinggali memiliki berbagai macam hal yang unik dan menarik. Letak dari keunikan dan kemenarikan dari berbagai macam hal itu bergantung pada bagaimana kita melihat hal-hal itu dari kacamata kita sendiri. Sejak semula, manusia sudah hidup dengan hal-hal yang melekat pada dirinya sejak lahir hingga matinya, yakni kebudayaan, suku dan agama. Banyaknya suku, budaya, pemikiran, kepribadian maupun berbagai macam manusia yang tinggal di dunia ini mengakibatkan munculnya keberagaman dalam berbagai macam hal tersebut.

Sebagai pemilik dari suatu kebudayaan, agama atau ras, seseorang dituntut untuk mengenal hal yang dimilikinya baik dari luar maupun dalam, mencintai, melestarikan dan mengembangkannya sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi, apa yang seharusnya kita lakukan terhadap kebudayaan yang kita miliki menjadi sulit untuk dilakukan ketika kita merasa malu dan enggan terhadap kebudayaan kita. Seringkali kita menganggap kebudayaan kita sebagai kebudayaan yang tidak ‘kekinian’ sehingga kita menjadi enggan untuk mempelajari lebih lanjut dan menggali esensi-esensi sesungguhnya dari budaya-budaya tersebut. Sifat-sifat yang telah disebutkan itulah yang menjadi ciri-ciri masih hidupnya dampak-dampak dari orientalisme terhadap masyarakat di negara kita.

Pada dasarnya orientalisme adalah sebuah studi yang dilakukan oleh para antropolog dan peneliti Eropa ketika zaman pencerahan dan kolonialisasi negara-negara Jazirah Arab dan sebagian Afrika Utara mengenai gaya hidup, artefak dan karakteristik dari orang-orang dan kebudayaan Asia.  Di zaman itu, budaya dan orang-orang Asia serta sebagian Afrika Utara dipandang oleh orang-orang barat sebagai kebudayaan dan masyarakat yang aneh, terbelakang, tidak beradab dan berbahaya.  

Sejak saat itulah orang-orang barat merasa enggan untuk disamakan dengan orang-orang timur karena merasa bahwa kebudayaan mereka jauh lebih maju dan beradab dibandingkan orang-orang timur. Hal itu menyebabkan terjadinya perendahan terhadap orang-orang dan kebudayaan timur melalui berbagai lukisan, tulisan dan pandangan dari orang barat. Jika diibaratkan, hubungan antara timur dan barat pada masa itu dapat diibaratkan seperti kode biner yang saling berpasangan tetapi bersifat hierarkis. Dalam kode biner, Negara-negara barat diibaratkan menjadi angka (1) yang menempati posisi sebagai angka primer dan negara di timur ibarat angka (0) yang menjadi angka sekunder.

Tujuan awal dibalik munculnya orientalisme yang diciptakan oleh orang Eropa adalah untuk mempelajari budaya timur dan untuk melakukan imperialisme di negara-negara timur tersebut. Dikatakan oleh Edward Said bahwa Eropa dan negara-negara timur bukan hanya hidup berdampingan, tetapi negara-negara timur adalah koloni yang terbaik, terkaya dan tertua yang dimiliki oleh Eropa. Selain itu, negara timur merupakan sumber peradaban dan bahasa-bahasa serta pemikiran, pemicu kontes kebudayaan, menjadi gambaran nyata untuk negara-negara barat mengenai ‘pihak lainnya’.  Tetapi lebih dari itu, negara-negara timur jugalah yang membantu orang-orang barat mendefinisikan dirinya, ide dan pengalaman-pengalaman. Hal itu dapat diibaratkan seperti bagaimana kehadiran gelap dapat mendefinisikan terang, atau ketidakhadiran dapat mendefinisikan kehadiran bagi manusia.

Perendahan kebudayaan, cara hidup dan orang-orang timur terus dilakukan oleh bangsa barat di abad pencerahan melalui berbagai bidang seperti lukisan, fotografi, ekonomi dan politik. Lukisan yang terkenal mengenai orientalisme adalah lukisan yang berjudul ‘perayu ular’ oleh Jean-Leon Gerome . Dalam lukisan itu, digambarkan ada seorang anak yang tidak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya, sedang memegang ular dan di sampingnya terdapat seorang pemain seruling yang permainannya menawan baik bagi penontonnya maupun si ularnya sendiri. Lukisan itu menyiratkan bahwa ketelanjangan adalah hal yang wajar untuk menjadi konsumsi publik bagi bangsa timur. 

Masih berhubungan dengan budaya ‘telanjang’, di era kolonialisasi Perancis terhadap Aljazair (1830-1962) orang-orang Perancis memproduksi dan mengedarkan kartu pos bergambar seorang wanita Aljazair yang berlatar belakang kegiatan sehari-hari di negara yang koloni Perancis tersebut. Foto itu menjadi bukti dari kebudayaan erotis, terbelakang dan aneh yang dimiliki oleh Aljazair serta bukti bahwa wanita-wanita Arab di zaman itu dijadikan objek seksual oleh para pria barat . Singkat kata, karya seni yang beredar ketika orientalisme sedang menjadi sebuah tren bagi masyarakat Eropa bersifat menjatuhkan dan merendahkan kebudayaan timur, seringkali diungkapkan melalui latar belakang sosial-budaya yang tersirat.

Orientalisme yang dikembangkan oleh bangsa barat tentu memiliki pengaruh yang besar bagi bangsa timur. Di Asia, terdapat dua kekaisaran yang independen ketika masa Perang Dunia I sampai dengan masa pasca Perang Dunia I, yakni Turki Ottoman dan Kekaisaran Jepang. Kekalahan Turki Ottoman pada Perang Dunia I menjadi contoh nyata bagaimana dahsyatnya pengaruh orientalisme terhadap kelangsungan sebuah bangsa kala itu. Seperti yang banyak dituliskan oleh para sejarawan, Turki Ottoman adalah salah satu dari kekaisaran terkuat yang dimiliki oleh Asia. Hal itu dibuktikan dengan wilayah kekuasaan Turki Ottoman yang terbentang mulai dari Asia Tengah, Eropa Timur dan Utara Afrika serta kepemilikan kekaisaran akan pasukan janisari yang sangat kuat. Tetapi, Kekaisaran Turki Ottoman dapat dengan mudah dikalahkan oleh Triple Entete kala itu. Hilangnya identitas diri yang dimiliki oleh rakyat Turki Ottoman menjadi salah satu penyebab kalahnya Turki dalam Perang Dunia I. 

Berbeda dengan Jepang yang menjalankan politik isolasi oleh Shogun Tokugawa ketika masa orientalisme berlangsung, ketika rakyat Jepang mulai membuka diri terhadap dunia luar, mereka tidak sedikit pun terpapar dampak dari orientalisme akibat dari politik isolasi yang diterapkan oleh Shogun mereka. Hal itu mengakibatkan rakyat Jepang memiliki rasa percaya diri yang tinggi akan kemampuan bangsanya dan menjadikan Amerika Serikat sebagai batu loncatan baginya. Setelahnya, Jepang menjadi negara yang terkenal arogan yang dibuktikan dengan penaklukan-penaklukan terhadap negara-negara di Asia dan Kepulauan Pasifik serta ikut berperang melawan Rusia kala itu.

Dampak dari orientalisme bukan hanya tinggal dan membekas di zaman ketika orientalisme sedang berada di puncaknya, tetapi dampak-dampak tersebut masih tinggal hingga detik ini dalam diri masyarakat dari negara-negara yang menjadi korban orientalisme di zaman dahulu. Dampak-dampak tersebut terlihat seperti diturunkan dari generasi ke generasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Bahkan, dampak dari orientalisme itu sekarang semakin meluas ke dalam aspek-aspek terkecil dalam kehidupan dan dianggap sebagai hal yang wajar. Seperti contohnya adalah perasaan malu, tidak bangga dan menganggap bahwa budaya kita ‘ketinggalan zaman’.

Definisi dari ‘ketinggalan zaman’ yang dimaksudkan juga mengandung makna orientalisme yang sangat luas, dimana seringkali yang kita maksudkan sebagai pusat peradaban atau pusat perkembangan zaman adalah negara-negara Barat, sehingga kita akan terus menganggap bahwa budaya yang kita miliki itu berbeda, aneh dan kaku karena menjadikan budaya barat sebagai ukuran dalam hal kebudayaan yang kita miliki. Contoh lain yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari kita dan cukup memprihatinkan adalah kecenderungan orang-orang untuk percaya pada hasil penelitian dari ahli-ahli di Luar Negeri dibandingkan dengan hasil penelitian dari ahli-ahli yang berasal dari negeri kita sendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline