Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Mari Mengenal Apa Itu Ketimpangan Digital (Digital Divide)

Diperbarui: 28 Mei 2019   13:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Digital Divide - ilustrasi atchub.net

Sejak kemunculan internet di medio 1960-an, dunia menjadi kian sempit. Namun dari aspek sosial, ekonomi, politik dan pendidikan terjadi gap yang begitu lebar. Gap inilah yang kemudian di awal 90-an disebut sebagai 'Digital Divide' (DDiv). 

Wacana DDiv sendiri secara historis dimulai dari isu ketimpangan jaringan kabel antar daerah urban dan rural di US. Lalu berkembang menjadi kepemilikan Personal Computer (PC) baik di rumah tangga, instansi publik/swasta, dan sekolah. Sejak PC yang dibarengi perkembangan spektakuler internet, maka DDiv terjadi secara global.

Pada dasarnya DDiv masih berdiri pada faktor ekonomi, daerah dan pemerataan teknologi. Bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah di desa terpencil, tentu melihat laptop menjadi suatu yang wah. Namun dengan merubah variabel tinggal di kota, maka memiliki smartphone mungkin menjadi barang mewah tersendiri. Jurang yang terjadi dengan kalangan menengah atas yang tinggal di perkotaan tentu akan sangat besar. 

Dalam konteks Indonesia, dengan 82.190 desa DDiv menjadi kentara. Penggunaan media teknologi dan informasi di desa sendiri masih banyak memanfaatkan TV, yaitu 89%. Karena faktanya, akses internet memang relatif rendah di desa. Karena BTS dengan frekuensi 3G sendiri di tahun 2015, hampir 70 ribu dibangun di Pulau Jawa. Sedang hanya seribu lebih BTS dibangun di Papua. Ditambah 63% BTS dengan akses 4G juga dibangun di Jawa.

Secara spesifik, penggunaan internet untuk rumah tangga di daerah rural dan urban juga berbeda secara signifikan. dari survei Kominfo 2015, hanya 20% rumah tangga di desa mengakses internet. Sedang lebih dari 40% rumah tangga di daerah urban mengakses internet. Dari sebaran usia, hampir 50% pengguna internet berusia 16-25 tahun. Sedang pengguna yang berusia 36-65 tahun sebarannya lebih sedikit dari yang berusia 9-15 tahun (38,2%).

Indonesia sendiri memang tidak sebanding jika dikomparasi dengan negara maju. Namun saat negara lain juga berpacu memperkecil jurang ini, teknologi bergerak cukup cepat. Indonesia yang masih bergulat dengan infrastruktur dan konsep ala 'smart-smart-an', negara maju bergerak pada perspektif kritikal (artifak kebudayaan) dan retoris (kajian reflektif). Di banyak negara berkembang, memang wacana fungsional banyak dibahas (infrastruktur dan aplikasi).

DDiv pun bergerak dari sekadar wacana fisik menjadi diskursus. Generasi Z saat ini sudah kenal dengan teknologi. Namun, banyak yang belum memahami diskursus yang teknologi bawa. 

Sebuah riset di tahun 2014 di jurnal Journal of Literacy and Technology menemukan fakta yang unik. Anak usia dini yang dipaparkan pada pelajaran dengan e-book selama 6 minggu memiliki tingkat baca yang rendah.

Faktanya pun, banyak anak usia sekolah pintar dengan internet dan komputer. Namun apakah media ini membuat mereka belajar? Apakah teknologi ICT yang guru ajarkan di sekolah juga guru sendiri gunakan di luar sekolah. 

Sedang akses internet dan medianya sendiri masih relatif mahal dan terbatas. Apakah juga siswa didampingi orang yang faham teknologi di rumah mereka?

Saat DDiv yang terjadi di dunia, terutama Indonesia banyak berfokus pada bentuk fisik dan interkoneksinya. Jangan pernah terlupa konteks kritikal dan retorisnya. Faktanya banyak kita temui sehari-hari. Namun kita saja yang belum ngeh akan hal-hal ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline