Lihat ke Halaman Asli

Ghina Aufa Maulida

Mahasiswa Aktif Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyusuri Jejak Kurikulum Indonesia dari Masa ke Masa Menuju Indonesia Emas 2045

Diperbarui: 17 Mei 2025   03:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan tidak pernah lepas dari peran penting kurikulum. Ia adalah peta jalan bagi setiap siswa, guru, dan institusi pendidikan dalam menentukan arah dan isi proses pembelajaran. Di Indonesia, kurikulum telah mengalami perubahan berkali-kali dari masa ke masa. Setiap perubahan bukan sekadar pembaruan teknis, tetapi cerminan dari kondisi sosial, politik, dan nilai-nilai yang dipegang bangsa pada masanya.

Sejak merdeka, Indonesia telah berupaya membangun sistem pendidikan nasional yang kokoh. Kurikulum 1947 yang dikenal sebagai Leerplan menjadi langkah awal. Di masa itu, semangat kebangsaan menjadi nyawa utama kurikulum. Kemudian, berganti menjadi Kurikulum 1952 dan 1964, yang memperkuat nilai-nilai Pancasila serta pengetahuan dasar. Pada masa Orde Baru, Kurikulum 1968, 1975, dan 1984 bergulir dengan fokus pada disiplin, ketertiban, dan pencapaian tujuan instruksional.

Kurikulum terus berevolusi dari KTSP 2006 yang memberi kebebasan sekolah menyusun kurikulum, hingga Kurikulum 2013 yang mencoba mengintegrasikan pendidikan karakter dan pendekatan tematik. Terbaru, Indonesia memperkenalkan Kurikulum Merdeka yang memberi ruang lebih luas bagi guru untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan murid (Kemendikbudristek, 2022).

Namun di balik perjalanan panjang ini, pelaksanaan kurikulum di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Salah satu problem utamanya adalah ketimpangan. Sekolah-sekolah di kota besar mungkin sudah terbiasa dengan perangkat digital dan model pembelajaran inovatif, sementara di pelosok negeri, guru masih berjibaku dengan keterbatasan fasilitas dan minimnya pelatihan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan kurikulum tidak akan efektif jika tidak disertai peningkatan kapasitas guru dan pemerataan sarana pendidikan.

Problematika Pelaksanaan Kurikulum di Indonesia

Meski perubahan kurikulum dimaksudkan untuk perbaikan, pelaksanaannya di lapangan tidak semulus yang diharapkan. Berdasarkan kerangka Standar Nasional Pendidikan (SNP), terdapat beberapa problematika utama:

  1. Standar Isi
    Kurikulum kerap kali dianggap terlalu padat dan kurang kontekstual dengan kondisi sosial budaya lokal. Guru dibebani untuk menuntaskan seluruh materi tanpa cukup waktu untuk pendalaman.
  2. Standar Proses
    Metode pembelajaran inovatif seperti project-based learning atau inquiry learning belum diterapkan secara merata, terutama di sekolah-sekolah yang kurang memiliki fasilitas.
  3. Standar Kompetensi Lulusan
    Kesenjangan antara tujuan kurikulum dan capaian belajar nyata masih besar. Banyak siswa tidak mencapai kompetensi esensial, apalagi keterampilan abad 21.
  4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
    Banyak guru kesulitan beradaptasi dengan kurikulum baru karena kurangnya pelatihan atau dukungan. Ini diperparah oleh distribusi guru yang belum merata.
  5. Standar Sarana dan Prasarana
    Kurikulum digital memerlukan teknologi, tapi banyak sekolah terutama di daerah terpencil belum memiliki jaringan internet dan perangkat memadai.
  6. Standar Pembiayaan dan Pengelolaan
    Keterbatasan dana serta manajemen sekolah yang kurang profesional menghambat implementasi kurikulum secara efektif.
  7. Standar Penilaian
    Penilaian masih terlalu berorientasi pada ujian akhir dan kognitif, belum sepenuhnya menilai aspek afektif dan psikomotorik secara autentik.

Kritik juga datang dari aspek isi kurikulum yang dianggap terlalu padat dan kurang kontekstual. Guru sering kali terbebani oleh keharusan menuntaskan seluruh materi sesuai standar, padahal tidak semua bisa terserap dengan baik oleh siswa. Belum lagi sistem penilaian yang masih berorientasi pada capaian kognitif semata, mengabaikan proses berpikir kritis, kerja sama, dan kreativitas yang sejatinya menjadi bekal penting di era abad 21 (Mulyasa, 2013).

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya manajemen sekolah, terbatasnya anggaran, serta minimnya dukungan teknologi. Standar Nasional Pendidikan yang mencakup delapan komponen utama dari Standar Isi hingga Standar Penilaian belum sepenuhnya tercapai di berbagai wilayah. Implementasi kurikulum akhirnya menjadi timpang baik dalam kualitas maupun kecepatan adaptasi.

Lalu, bagaimana nasib pendidikan Indonesia dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 sebuah visi besar di mana bangsa ini diharapkan menjadi kekuatan ekonomi dan budaya dunia? Jawabannya ada pada komitmen kita terhadap pendidikan yang berkualitas, merata, dan relevan. Kurikulum yang ideal bukan hanya tentang perubahan dokumen, tetapi soal perubahan paradigma: dari pembelajaran yang seragam ke pembelajaran yang personal; dari mengejar nilai ke mengejar makna.

Kurikulum Merdeka, dalam banyak hal, sudah mengarah ke sana. Ia memberi ruang bagi guru untuk berinovasi, bagi siswa untuk mengeksplorasi, dan bagi sekolah untuk berkembang sesuai konteksnya. Tetapi, perubahan kurikulum tidak bisa dikerjakan setengah hati. Pemerintah harus serius memastikan distribusi pelatihan, pengadaan sarana, dan pendampingan terus dilakukan terutama di wilayah-wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Apa yang kita tanam hari ini melalui kurikulum akan menentukan seperti apa wajah Indonesia beberapa dekade ke depan. Bila problematika kurikulum ini bisa diatasi secara kolektif, bukan tidak mungkin anak-anak kita kelak akan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar di dunia mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 bukan sebagai mimpi, tapi sebagai kenyataan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline