Lihat ke Halaman Asli

Gentur Adiutama

TERVERIFIKASI

ASN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Bedug di Indonesia, Sebuah Syiar Agama dan Diplomasi Budaya

Diperbarui: 7 Juni 2019   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bedug ditabuh saat malam Idul Fitri di Jakarta. Sumber foto: Republika.

Masyarakat Indonesia terutama umat Muslim sudah sangat familiar dengan bedug. Sayangnya belum banyak yang mengetahui asal mula dan perjalanan sejarah yang mengiringi eksistensi instrumen musik tradisional ini di Indonesia. Beberapa hanya sekedar kenal dengan bunyinya saja.

Proses pembuatan bedug sesungguhnya tidak rumit. Sepotong batang kayu besar dengan ukuran panjang kurang lebih satu meter dilubangi pada bagian tengahnya sehingga terbentuk suatu tabung besar. Kemudian ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit sapi atau kerbau. Penutup itu berfungsi sebagai membran atau selaput gendang sehingga menghasilkan suara yang keras saat ditabuh.

Belum ada data yang menyimpulkan siapa pencipta bedug dan sejak tahun berapa alat ini mulai digunakan di Indonesia. Menurut beberapa literatur, terdapat lebih dari satu versi tentang asal mula bedug. Kedatangan Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok ke Nusantara pada abad ke-15 disebut-sebut menjadi titik awal eksistensi bedug di Tanah Air.

Saat itu, instrumen dengan bentuk serupa banyak digunakan untuk sarana kegiatan sembahyang di kuil-kuil Budha di Tiongkok. Laksamana yang beragama Islam itu lalu menghadiahkan sebuah alat tabuh besar kepada penguasa lokal di Semarang. Konon karena suaranya yang "dug, dug, dug", maka alat tersebut akhirnya disebut sebagai bedug.

Sumber lain mengatakan bahwa bedug adalah salah satu bentuk transformasi dari alat tabuh yang sudah ada sejak masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara. Pada masa tersebut, dikenal genderang berbahan perunggu bernama nekara dan moko. Pemakaian genderang itu berhubungan erat dengan ritual-ritual peribadatan.

Hal itu pula yang membuat sejumlah ahli meyakini bahwa tradisi menabuh instrumen sebagai bagian dari kegiatan agama telah berlangsung lama di Nusantara. Penggagasnya bukan pendatang dari bangsa lain, melainkan nenek moyang bangsa Indonesia sendiri di masa lalu. Transformasinya hanya pada bahan bakunya yang tidak menggunakan perunggu dan bentuknya yang lebih besar.

Masjid Cheng Ho di Surabaya dengan bedug di terasnya. Ada pendapat bahwa bedug bermula dari kunjungan Cheng Ho ke Indonesia. Sumber foto: Kemenag.

Terlepas dari perdebatan tersebut, tidak ada yang membantah fungsi bedug sebagai alat komunikasi yang menandakan dimulainya waktu sholat atau seruan bagi warga untuk berkumpul dalam acara-acara tertentu. Pada masa itu juga belum ada alat pengeras suara, sehingga bedug sangat diandalkan oleh masjid-masjid di berbagai daerah di Indonesia. Suara bedug bisa terdengar hingga jarak puluhan bahkan ratusan meter sehingga menjangkau masyarakat dalam satu desa.

Penggunaan bedug di masjid-masjid terus berlangsung pada masa Wali Songo. Sunan Kalijaga yang dikenal akan pendekatannya bersyiar Islam dengan memadukan unsur-unsur budaya lokal itu disebut-sebut sebagai salah satu ulama yang sangat mendukung penyebaran bedug sebagai alat komunikasi di masjid-masjid. Tak heran bila bedug berusia tua mudah ditemukan baik di masjid, suaru, maupun langgar yang telah berdiri lama di pelosok Indonesia. Bahkan beberapa bedug tertua di Indonesia konon usianya sudah menginjak lebih dari 100 tahun.

Bersama dengan kentungan, bedug dikukuhkan sebagai bagian dari syiar Islam di Indonesia pada Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bermula dari momen tersebut, masyarakat Indonesia mulai mengasosiasikan bedug dengan elemen pada rumah peribadatan agama Islam, sebagaimana penggunaan sajadah, minaret dan kubah. Bedug biasanya diletakkan di halaman depan atau teras masjid. Untuk melindungi dari kerusakan karena panas matahari, angin atau air hujan, beberapa bedug diberi kain penutup dan baru dibuka saat akan digunakan.

Sebagian besar masyarakat sudah mengasosiasikan bedug dengan masjid. Sumber foto: Kompas.

Sayangnya, eksistensi bedug sempat mengalami pertentangan pada masa Orde Baru. Oleh segelintir ulama yang didukung oleh politisi, bedug dianggap mengandung unsur non-Islam sehingga perlu dihentikan penggunaannya demi upaya 'pemurnian' Islam agar sesuai ajaran Nabi. Pada saat itu, sejumlah bedug terpaksa digudangkan atau dipindahkan ke luar area masjid. Beberapa bedug yang berukuran sangat besar tetap bertahan di teras masjid namun tidak lagi ditabuh.

Kondisi ini juga diikuti oleh munculnya alat pengeras suara berdaya listrik yang dianggap bersuara lebih nyaring dan lebih mudah perawatannya dibanding bedug. Masjid-masjid di kota-kota besar di Indonesia pun satu per satu beralih menggunakan alat pengeras suara sebagai media menyuarakan adzan atau pemberitahuan lainnya kepada para jamaah. Masjid-masjid yang baru dibangun dalam dua dasawarsa terakhir rata-rata tidak lagi memikirkan penggunaan bedug sebagai bagian dari unsurnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline