Lihat ke Halaman Asli

Gapey Sandy

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Seniman Reog Berharap Pemberdayaan

Diperbarui: 14 November 2015   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis bersyukur bisa ketemu Tri Suharyanto. Lelaki berusia 51 tahun ini pekerja seni asal Surabaya, Jawa Timur. Melalui sanggar seni miliknya Gembong Kyai Bulak, Tri bertekad melestarikan kesenian Reog Ponorogo dan Jaranan.

Sadar bahwa melestarikan Reog perlu kebersamaan, Tri dan seniman lain membentuk HIPREJS (Himpunan Paguyuban Reog Ponorogo dan Jaranan Kota Surabaya), pada 3 Februari 2013. Sampai kini, jumlah anggota HIPREJS hampir mencapai 30 sanggar. Diantaranya Sanggar Turonggo Seto, Tri Sapto Topo, Singo Turonggo Samber, Margo Cipto Utomo, Dwi Budoyo, Planet Reog, Turonggo Bulak Mukti Joyo, Singo Mudo, Kuda Kepang ‘Sekar Arum’, Singo Hargo Dumunung, Turonggo Srengi Wijoyo dan masih banyak lagi. Semua sepakat mewujudkan visi dan misi, melestarikan budaya bangsa yang adi luhung. Juga, menjadikan generasi muda menjadi seniman yang berbudaya dan berakhlak mulia.

Apa sih beda Reog dan Jaranan? “Keduanya punya kesamaan alur cerita, hanya ada penambahan beberapa tokoh dalam cerita seni Jaranan,” ujar Tri yang didapuk menjadi Ketua HIPREJS. Reog atau Jaranan (dulu disebut Barongan) dan diciptakan Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam. Kala itu, penampilannya difungsikan untuk sindiran (satire) kepada Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V (Bre Kertabumi) yang dianggap kurang tertib, adil dan bijaksana lantaran dipengaruhi sang permaisuri.

(Adegan Tari Jathil yang menggambarkan sosok prajurit berkuda dari Kerajaan Bantarangin. | Foto: FB Reog Surabaya Hiprejs)

Sementara itu, pada masa kekuasaan Batoro Katong, justru sang istrinyalah yakni Ki Ageng Mirah yang melestarikan kesenian Barongan. Terutama dimaksudkan sebagai pengumpul massa dan pemersatu kerajaan. Batoro Katong sendiri masih keturunan Bre Kertabumi dari garwo selir Putri Cempo.

Batoro Katong sebelum diserahkan tanah pardikan di Ponorogo sekaligus menjadi Bupati pertamanya, sempat belajar ilmu agama dengan Kanjeng Sunan Ampel yang masih merupakan pamannya sendiri di Ampel Denta. Selain itu, Batoro Katong memiliki saudara kandung bernama Jinbun Patah yang memperoleh tanah pardikan Demak sekalgus merupakan Raja Islam pertama di Demak.

Jelaslah, betapa Reog Ponorogo dan Jaranan merupakan kesenian khas Nusantara sejak doeloe. Keberadaannya sudah melintasi banyak zaman. Syukurlah, sampai saat ini masih bertahan dan terus lestari. Hak cipta kesenian Reog pun telah dicatatkan dengan Nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004. Sehingga dengan begitu diketahui Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Sedangkan Malaysia, yang pada 2007 sempat memunculkan Reog sebagai atribut seni, akhirnya urung dan ciut.

(Walikota Surabaya, Tri Rismaharini ketika menumpaki Dadak Merak sebagai salah satu ikon Reog Ponorogo. | Foto: FB Reog Surabaya Hiprejs)

“Reog tetap masih milik bangsa Indonesia,” seru Dubes Malaysia untuk Indonesia, Zainal Abidin Mohammad Zin dari atas mobil pengeras suara milik massa pendemo di depan Kantor Kedubes Malaysia, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, 29 November 2007.

Waktu terus maju. Roda zaman terbukti tak mampu menggilas seni Reog Ponorogo. Termasuk, rezim Orde Baru yang sempat ‘memberi kartu kuning’ untuk seni Reog. Maklum, lini masa sebelumnya, Reog dimanfaatkan simpatisan partai terlarang untuk mendulang massa. Ketidaksukaan berdasarkan trauma sejarah ini ampuh ‘melumpuhkan’ Reog. Sehingga boleh jadi, justru para penghijrah yang kemudian mengembangkan Reog di Johor dan Selangor, Malaysia.

Tri bersama HIPREJS kini giat melestarikan kearifan budaya lokal Reog Ponorogo dan Jaranan sembari mewariskan kepada generasi muda. Trauma sejarah, musti segera dihapus. Garis aturan ditegakkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline