Lihat ke Halaman Asli

Kondisi, Fakta dan Permasalahan Energi Terbarukan di Indonesia

Diperbarui: 20 Agustus 2017   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


#15HariCeritaEnergi #HariKedua 

Pendahuluan

(https://www.esdm.go.id/) – Indonesia bukanlah negara yang baru kemarin sore mengenal Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Sejarah telah mencatat bahwa upaya pencarian energi panas bumi sudah dimulai sejak awal tahun 1900-an, sampai lima sumur eksplorasi dibor pada tahun 1926-1929. Satu sumur masih memproduksi uap panas kering hingga saat ini [1]. Bahkan pemanfaatan EBT kategori biomasa berupa kayu sudah dikenal sebelumnya sebagai bahan bakar.

Perjalanan kita sebagai bangsa modern pun semakin mantap. Hal itu dapat ditandai dengan perhatian terhadap energi yang bersih dan ramah lingkungan sudah mulai menunjukkan panggungnya. Meski jam terbang EBT dalam praktek dan kontribusi di lapangan masih tergolong rendah.

Sebelum lebih jauh ke inti tulisan, penulis sangat merekomendasikan pengunjung blog ini untuk membaca tulisan sebelumnya yang berjudul Memperbarui Mindset tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia. Ini penting dan mendasar karena penulis sudah menetapkan kerangka tulisan dan judul yang sistematis selama 15 hari depan. Dan tiga hari pertama adalah basis untuk memulainya, menjadi dasaran dan penguatan untuk melompat dan melangkah di tahap selanjutnya.

Tulisan kali ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum mengenai kondisi kekinian seputar penerapan dan perkembangan EBT di Indonesia beserta informasi mengenai fakta dan permasalahan yang mengikutinya. Diharapkan dari tulisan ini muncul perspektif baru untuk kembali menguatkan langkah kita agar tetap optimis dan yakin bahwa EBT di Indonesia akan menemukan masa jayanya.

Kondisi, Fakta dan Permasalahan

Berikut ini merupakan beberapa hal yang penulis tangkap mengenai kondisi, fakta dan permasalahan EBT di Indonesia saat ini; antara lain,

1. Tinjauan Regulasi

Awal tahun 2017 lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait Energi Terbarukan yakni dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ESDM RI Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Dalam aturan ini, ditetapkan harga pembelian tenaga listrik berbasis EBT maksimal sebesar 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP) Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan PLN setempat [2]. Hal ini tentu menuai protes dari pelaku usaha disektor kelistrikan. Alasannya sederhana: ketentuan tarif dalam aturan ini nilainya lebih rendah dari ketentuan sebelumnya. Harganya tidak menarik. Bahkan Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) meminta telah Menteri ESDM Ignaisus Jonan merevisi Permen ESDM No. 12/2017 dan telah mengirimkan surat keberatan kepada Presiden [3].

Revisi aturan yang dikeluarkan pun tidak mengubah besaran biaya pembelian sebagaimana dalam Permen ESDM RI Nomor 43 Tahun 2017 yang merevisi Permen ESDM RI Nomor 12 Tahun 2017 diatas [4]. Pihak swasta tentu yang kurang diuntungkan dalam hal ini, meski tujuan pemerintah sebenarnya baik yakni agar tarif listrik lebih kompetitif dan efiesien dalam teknologinya. Namun hal ini berakibat pada pengembang EBT swasta yang memberhentikan proyek EBT – yang dirasa tidak menguntungkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline