Lihat ke Halaman Asli

Arah Waktu

wiraswasta

Review Buku: Cara Menipu Otak Sendiri Supaya Belajar Jadi Asik

Diperbarui: 2 Juli 2025   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arah Waktu

Sebagai seseorang yang sejak lama berjuang dengan rasa malas, prokrastinasi, dan tekanan belajar yang kadang membuat frustasi, saya tidak menyangka akan menemukan buku yang bukan hanya menjawab masalah saya, tetapi juga menawarkan strategi konkret yang bisa langsung saya praktikkan. Cara Menipu Otak Sendiri Supaya Belajar Jadi Asik bukanlah buku motivasi biasa. Ia tidak datang dengan seruan "ayo semangat" atau tuntutan "harus disiplin". Buku ini adalah panduan logis, humanis, dan praktis tentang bagaimana kita bisa "berdamai" dengan otak kita sendiri dan mengubah kebiasaan belajar secara perlahan tapi konsisten.

Salah satu kekuatan utama dari buku ini adalah pendekatan psikologis dan neurobiologisnya yang dijelaskan dengan sangat sederhana. Di bagian awal, penulis langsung mematahkan mitos bahwa kita malas belajar karena kita lemah atau tidak cukup termotivasi. Ia mengungkap bahwa otak manusia masih menggunakan sistem lama yang diciptakan untuk bertahan hidup, bukan untuk membaca buku atau mengerjakan soal. Maka, tugas kita bukan memaksa otak untuk berubah, tetapi memahami cara kerjanya dan menyiasatinya.

Buku ini terdiri dari 15 bab yang mengalir dengan struktur yang jelas dan sangat aplikatif. Bab pertama hingga ketiga menjelaskan dengan sangat menarik bagaimana otak kita bekerja---bagaimana sistem reptil dan limbik menghindari stres dan lebih suka kenyamanan instan, dan bagaimana kita bisa menggunakan strategi kecil untuk mengalihkan fokus otak ke arah yang lebih produktif. Saya merasa terbantu ketika penulis menjelaskan bahwa masalah terbesar kita bukan niat, tetapi sistem. Saya sendiri sering gagal belajar karena terlalu mengandalkan niat dan semangat yang cepat padam. Setelah membaca buku ini, saya mulai membentuk sistem belajar yang kecil namun stabil.

Bab-bab selanjutnya membahas berbagai "musuh dalam kepala" seperti prokrastinasi, overthinking, dan perfeksionisme. Setiap tantangan dikupas tuntas, bukan dengan teori, tetapi dengan contoh-contoh konkret dan solusi yang realistis. Di bab tentang prokrastinasi, misalnya, penulis menjelaskan bagaimana kebiasaan menunda muncul sebagai strategi otak untuk menghindari tekanan. Saya sangat tertohok ketika membaca bahwa otak sering menggunakan "alasan masuk akal" untuk menunda---dan selama ini saya memang sering terjebak di sana.

Bab "Zona Fokus" adalah bagian yang mengubah cara saya menata ruang belajar. Penulis memberikan strategi sederhana seperti membuat sudut belajar khusus, menjauhkan distraksi, dan membuat ritual awal sebelum mulai belajar. Saya mempraktikkan teknik Pomodoro dan mulai menyadari bahwa belajar tidak harus panjang. Belajar dalam blok waktu singkat tetapi fokus jauh lebih efektif. Dengan teknik ini, saya mulai menyukai proses belajar yang sebelumnya terasa berat.

Bab tentang kebiasaan dan konsistensi juga sangat membuka mata saya. Saya dulu selalu ingin langsung berubah drastis: belajar 3 jam sehari, bangun jam 5 pagi, dan lain-lain. Tapi penulis menyarankan untuk mulai dari kebiasaan mikro---5 menit belajar per hari, 1 halaman buku, atau membuka catatan saja. Kebiasaan kecil ini, ketika dilakukan secara konsisten, justru jauh lebih efektif daripada ambisi besar yang mudah padam.

Yang paling menyentuh bagi saya adalah bab-bab yang membahas sisi emosional dari belajar. Buku ini tidak hanya berbicara soal otak, tetapi juga soal hati. Bab "Belajar Tanpa Stres" mengajarkan saya untuk tidak menghukum diri sendiri ketika gagal memahami sesuatu. Penulis mengajak pembaca untuk menjadi teman bagi dirinya sendiri, bukan musuh. Ia mengingatkan bahwa belajar adalah proses yang wajar naik turun, dan bahwa gagal memahami bukan tanda kebodohan, tetapi bagian dari perjalanan belajar itu sendiri.

Di bab "Menghipnotis Otak", saya dikenalkan dengan teknik visualisasi dan afirmasi. Awalnya saya skeptis, tapi setelah mencoba membayangkan diri saya belajar dengan tenang dan fokus sebelum memulai sesi belajar, saya merasa lebih siap. Mengulang afirmasi positif juga membantu saya membungkam suara negatif di kepala. Buku ini sangat seimbang dalam menggabungkan pendekatan logika dan emosi.

Bab-bab terakhir membahas bagaimana menjaga semangat belajar, mengatasi stres ujian, hingga mengelola waktu secara realistis. Saya sangat terbantu dengan bab tentang menghindari kebosanan---penulis menyarankan variasi metode belajar, mengatur ulang rutinitas, dan menemukan motivasi pribadi. Ini bukan sekadar tips, tetapi strategi yang berasal dari pemahaman mendalam tentang psikologi belajar.

Yang juga saya sukai, buku ini ditulis dengan gaya bertutur yang sangat ramah, kadang seperti teman dekat yang sedang bercerita. Tidak ada kesan menggurui. Setiap bab memberikan pemahaman yang membumi dan bisa langsung dihubungkan dengan pengalaman pribadi pembaca. Saya merasa buku ini berbicara langsung kepada saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline