Lihat ke Halaman Asli

Fitri Manalu

TERVERIFIKASI

Best Fiction (2016)

Permendikbudristek PPKS untuk Cegah Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Diperbarui: 15 November 2021   07:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kekerasan seksual | Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Meski diwarnai dengan pro dan kontra, lahirnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi jelas merupakan langkah maju untuk mencegah kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. 

Hadirnya Permendikbudristek PPKS ini diharapkan dapat meningkatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.

Akhir-akhir ini, kasus-kasus kekerasan seksual dalam kampus memang kerap mewarnai media. Survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tahun 2020, ternyata 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus (kompas.com, 12/11/2021). Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya Permendikbudristek PPKS yang ditetapkan pada tanggal 31 Agustus 2021 yang lalu.

Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang merendahkan derajat martabat seseorang dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). 

Dalam Pasal 28G ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945 telah disebutkan, "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain." 

Hal ini sejalan dengan Pasal 33 ayat (1) UU HAM yang berbunyi, "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya."

Bila merujuk pada KUHP, hanya ditemukan istilah perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP. 

Menurut R. Soesilo, istilah "perbuatan cabul" merujuk pada Pasal 289 KUHP yang berbunyi, "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dihukum karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana selama-selamanya sembilan tahun".

Unsur tindak pidana ini terdiri atas: (1) barang siapa; (2) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; (3) memaksa seseorang; (4) untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. 

Dengan demikian, perbuatan ini jelas merupakan perbuatan tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan. Hal ini sudah sesuai dengan frasa "tanpa persetujuan korban" pada Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek PPKS yang dipermasalahkan oleh sejumlah pihak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline