Lihat ke Halaman Asli

Hidup Berdampingan dengan Beruk, Bisa Nggak Sih?

Diperbarui: 4 September 2025   12:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satwa beruk sering dijumpai di hutan tropis dan perkebunan(iStockphoto.com/phototrip)

Pendahuluan

Bayangkan jika sedang berjalan santai di jalan pedesaan, lalu sekawanan beruk melintas sambil membawa jagung dari ladang warga. Bagi sebagian orang, pemandangan itu mungkin terasa unik dan mengundang senyuman. Namun, bagi petani, itu berarti kerugian nyata yang tidak bisa dianggap sepele.

Fenomena ini menggambarkan adanya konflik antara manusia dengan beruk (Macaca nemestrina) yang semakin sering terjadi. Satwa yang dulunya hidup tenang di hutan kini kerap muncul di kebun, pemukiman, bahkan pekarangan rumah warga. Pergeseran ini bukan tanpa sebab, melainkan akibat perubahan besar pada ruang hidup mereka.

Di sinilah pertanyaan besar kian muncul: apakah manusia dan beruk bisa hidup secara berdampingan tanpa saling merugikan? Jawaban atas pertanyaan ini tentu membutuhkan analisis yang mendalam, bukan sekedar menyalahkan salah satu pihak. Sebab, konflik ini bukan hanya soal satwa untuk mencari makan, melainkan juga tentang bagaimana manusia mengelola alamnya.

Hubungan manusia dengan satwa liar pada dasarnya merupakan cermin dari cara kita dalam memperlakukan alam. Jika hutan ditebang tanpa memikirkan keseimbangan ekologi, maka satwa akan mencari ruang hidup baru di sekitar manusia. Studi riset Nurramadhani et al. (2023), menegaskan bahwa perubahan ekosistem dapat berpengaruh signifikan pada perilaku beruk dan semakin memperbesar potensi terjadinya konflik dengan masyarakat.

Konflik yang Tak Pernah Usai

Beruk mulai masuk ke area perumahan warga (iStockphoto.com/joyt)

Penyebab utama konflik manusia-beruk cukup jelas, yaitu menyempitnya ruang hidup. Hutan yang dulu luas kini semakin berubah menjadi perkebunan sawit, pemukiman warga, maupun jalan. Dampaknya, beruk kehilangan sumber makanan alami dan mulai mencari alternatif di kebun masyarakat.

Penelitian terbaru di Riau (Metananda et al., 2024) menemukan bahwa konflik dengan Macaca fascicularis dapat meningkat di daerah perumahan akibat hilangnya habitat aslinya. Menariknya, faktor sampah rumah tangga juga semakin memperburuk situasi karena menjadi sumber makanan tambahan. Hal ini menegaskan bahwa perilaku manusia ikut memicu interaksi yang tidak sehat dengan satwa di hutan.

Artinya apa? Konflik bukan sekedar persoalan dalam berebut jagung atau pisang, melainkan persoalan sosial dan ekologi yang saling bertaut. Dari sisi petani, tentunya dapat menurunkan kesejahteraan sehingga mengalami kerugian ekonomi. Sementara dari sisi beruk, masuk ke lahan warga hanyalah tindakan untuk bertahan hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline