Lihat ke Halaman Asli

Dilema Keselamatan Anak di Jalan Raya: Antara Kesadaran dan Kelalaian KIta

Diperbarui: 14 Oktober 2025   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ilustrasi oleh Aldrin Rachman Pradana di Unsplash       

Dalam dua hari berturut-turut, 11 dan 12 Oktober 2025, Tapanuli Utara diguncang kabar duka. Dua kecelakaan maut yang menewaskan anak dan remaja terjadi di dua lokasi berbeda. Tragedi ini bukan sekadar musibah di jalan raya, tetapi cermin retak dari persoalan yang lebih dalam dilema struktural yang dibiarkan tanpa solusi sistemik.
Angka kecelakaan yang melibatkan pelajar dan remaja di Taput menunjukkan pola berulang. Mereka bukan hanya korban di jalan, tetapi korban dari kelalaian kolektif  dari orang tua, sekolah, hingga pemerintah daerah.

Pola Fatal yang Berulang

Kasus terbaru pada Oktober 2025 menegaskan bahwa pola pelanggaran lalu lintas di kalangan pelajar belum berhenti.
- 11 Oktober 2025 (Siatas Barita): Tiga kakak beradik, RA, R, dan BM, tewas di tempat setelah sepeda motor Honda Vario yang mereka tumpangi berboncengan tiga ditabrak truk yang lari jalur ke kanan saat mendahului kendaraan lain.
- 12 Oktober 2025 (Tarutung): RHP (16 tahun), remaja warga Desa Simpang Bolon, meninggal dunia setelah terjatuh dan keluar jalur ke kanan, kemudian terlindas mobil Toyota Kijang sekitar pukul 21.00 WIB. Korban diketahui belum memiliki SIM C.
Kedua peristiwa ini mengulang pola yang sama: anak di bawah umur mengendarai sepeda motor, sering kali tanpa perlengkapan keselamatan, dan dalam kondisi minim pengawasan. Data dan kesaksian warga menunjukkan, pelanggaran seperti berboncengan tiga dan usia pengendara di bawah 17 tahun telah menjadi bagian dari keseharian pelajar di Taput.

Dilema Struktural di Balik Pelanggaran

Fenomena ini tidak bisa dipandang semata sebagai ketidaktaatan anak pada aturan lalu lintas. Ada dilema struktural yang memaksa mereka melanggar.
Pertama, ketiadaan transportasi umum menjadi akar masalah. Di banyak desa, jarak antara rumah dan sekolah bisa mencapai beberapa kilometer. Minimnya angkutan membuat anak-anak terpaksa menggunakan sepeda motor meski belum cukup umur.
Kedua, ada permakluman dari orang tua dan sekolah. Pihak sekolah mengakui bahwa banyak muridnya belum layak mengendarai kendaraan bermotor, namun sulit melarang karena faktor jarak dan ketiadaan transportasi umum. Sementara di sisi lain, orang tua kerap menganggap anak mereka sudah "bisa" mengendarai motor hanya karena mampu menyeimbangkan setang.
Kondisi ini membuat pelajar Taput hidup dalam dilema antara kebutuhan untuk bersekolah dan risiko kehilangan nyawa di jalan raya.

Tanggung Jawab yang Terbagi, Kesadaran yang Belum Merata

Tragedi Oktober 2025 menegaskan bahwa keselamatan anak di jalan raya bukan semata urusan kepolisian. Ia adalah tanggung jawab kolektif.
- Peran Orang Tua: Kurangnya pengawasan membuat anak di bawah umur bebas berkendara, bahkan pada malam hari.
- Peran Sekolah dan Aparat: Sekolah telah melakukan sosialisasi keselamatan, namun tanpa penegakan hukum yang konsisten, pelanggaran terus terjadi. Kepolisian setempat diharapkan melakukan razia rutin di jam masuk dan pulang sekolah, menertibkan pengendara di bawah umur serta pelanggaran boncengan tiga.
- Peran Pemerintah Daerah: Peningkatan infrastruktur jalan seperti penerangan, marka jalan, dan rambu di sekitar sekolah dan juga menjadi bagian penting dari pencegahan.
Tanpa koordinasi lintas sektor, setiap imbauan hanya akan berakhir sebagai seremonial tahunan tanpa perubahan nyata.

Mendorong Solusi Sistemik

Tragedi demi tragedi menunjukkan satu hal: kesadaran belum cukup. Dibutuhkan kebijakan sistemik dan keberanian politik untuk memutus rantai pelanggaran yang menelan korban muda setiap tahun.
Beberapa langkah konkret dapat ditempuh:
1. Penyediaan transportasi umum khusus pelajar, seperti bus sekolah atau angkutan desa bersubsidi.
2. Razia edukatif rutin oleh kepolisian, dengan pendekatan pembinaan, bukan hanya penindakan.
3. Integrasi edukasi keselamatan berlalu lintas di sekolah, termasuk simulasi menyeberang dan pengenalan rambu.
4. Keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawasi anak-anak yang berkendara tanpa izin.
Selama kita masih menoleransi anak-anak di bawah umur berkendara, setiap kecelakaan baru akan menjadi pengingat pahit bahwa kelalaian kita masih lebih besar dari kesadaran kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline