Lihat ke Halaman Asli

Febi M. Putri

Penulis Paruh Waktu

Cerpen: Lelaki Bercahaya

Diperbarui: 21 Oktober 2022   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki itu datang lagi mengunjungi nenek. Kali ini ia memakai kemeja biru yang dipadukan dengan celana hitam dan tas selempang yang tersampir di bahunya. 

Ia tidak memakai jas putih seperti dua minggu lalu. Namun, yang paling menarik perhatianku adalah kacamata yang menempel di wajahnya. Tidak, maksudnya matanya. Sorot matanya tajam, namun berwibawa. Ah, di mataku, lelaki itu tampak bercahaya.

Aku segera bangun dari kursi tempatku duduk menunggui warung nenek. Warung itu menempel dengan rumah tempat kami tinggal. Aku memberi isyarat kepada lelaki itu untuk duduk di tikar yang tergelar di ruang depan. 

Nenek yang sedang memasak lauk untuk makan siang tergopoh menghampirinya. Aku segera membuatkan minuman suguhan. Tidak spesial, hanya minuman bubuk kemasan yang tinggal diseduh dengan air. Walaupun begitu, aku berulang kali mencicipinya. Takut-takut bila kemanisan atau malah terlampau hambar.

Aku mencuri pandang ke arah cermin. Merapikan jilbabku yang melorot, melatih pose tersenyum yang paling sempurna. 

Kuoles bibirku dengan gincu merah yang aku beli di pasar dua hari lalu. Namun, aku malah terlihat lebih tua. Kuhapus lagi gincu itu. Aku bergegas menuju ruang tamu dan menyuguhkan minuman itu dengan malu-malu.

"Ini ... minumannya, Mas. Ayo, dicicipi." Aku rasa kalimatku lebih bergetar dari biasanya. Aku memang agak kurang jelas kalau berbicara, tapi kali ini tampaknya kegugupanku sangat terbaca. 

Lelaki itu melempar senyum ke arahku tanda berterima kasih. Rasanya ada bunga-bunga merah jambu yang merekah dan berputar di sekeliling kepalaku saat itu juga.

Lelaki itu menempelkan suatu alat di telinganya, menaruh ujungnya di dada nenek dengan lembut. Ia tampak mendengarkan sesuatu dengan saksama. Belakangan aku tahu alat itu adalah stetoskop. 

Ya, ia adalah dokter langganan nenek dari puskesmas yang jaraknya kurang lebih 5 kilometer dari kampung kami. Ia sedang menjalankan program kunjungan rumah untuk memeriksa pasien-pasien lansia di kampungku. Lelaki itu akan datang tiap dua minggu sekali. Hari-hariku terasa dipenuhi debar asmara tiap kali menunggu kedatangannya.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline