Lihat ke Halaman Asli

Fazil Abdullah

Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen | Putri Nikah Siri

Diperbarui: 1 Februari 2023   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istock

Di rumah Pakdhe, kau bersimpuh. Suaramu bergetar. Air matamu mengalir. "Jadilah wali nikahku, Pakdhe," pintamu.

Kau menempuh jarak sekitar sepuluh kilometer dari desamu, dari rumah dengan sepeda ontel peninggalan ayah. Hanya untuk menemui Pakdhe. Inginmu teguh.

Kau masih gadis belia. Baru diterima UGM melalui jalur PMDK. Sebulan lagi akan lulus UAN SMA. Bicaramu jelas penuh percaya diri sekalipun dalam tangis. Kau tampak seakan wanita dewasa penuh kepemilikan.

Pakdhe bangkit dari duduknya di kursi tamu. Membangunkan dan mendudukkanmu. Ia belum bicara. Masih menimbang. Di tarik nafas dalam. Ia serap sinar matahari sore yang menerobos jendela, dan angin sepoi-sepoi yang datang dari pintu terbuka. Desa Pakdhe asri. Tidak seperti desamu yang tandus sejak kehadiran penambangan galian C itu.

Pakdhe tentu berat menuruti keinginanmu yang tak wajar di mata masyarakat. Kau menerima lelaki beristri itu karena dijanjikan akan didukung dan dibantu biaya perkuliahanmu sampai selesai. Lelaki itu kau anggap pengganti Ayah. Kau nyaman dengannya meskipun tua dan beristri.

Ibumu telah memberitahu Pakdhe dan melarang Pakdhe jadi wali nikah siri. Mas Supriyatin, kakak kandungmu juga tidak mau menjadi wali nikah. Kakak keduamu, Mbak Suhesti lebih-lebih menentang keputusan edanmu. "Mending aku istri pertama. Walaupun hidup pas-pasan, enggak makan hati, enggak merebut suami orang!"

Kau tetap dalam pendirianmu meskipun harus sendiri.

"Cuma Pakdhe sekarang jadi tumpuanku. Kalo Pakdhe juga enggak setuju, aku tetap pergi dengan pilihanku. Ibu bakal lebih terluka. Jadi, lebih baik aku nikah siri, Pakde. Masih sah, walaupun dunia tak merestui. Aku siap terima segala akibatnya nanti," tegasmu lagi.

Pakdhe bicara. "Ingat Ely, keputusamu selain menyakiti Ibumu juga menyakiti istri pertama lelakimu. Pilihanmu tidak aman, Ely. Jangan termakan dengn janji laki-laki."

Kau telah memikirkan konsekuensi keputusanmu. Akan ada orang yang tersakiti. Untuk mengurangi luka, kau telah sepakat bahwa pernikahan sirimu akan disembunyikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline