Lihat ke Halaman Asli

Fahmi Aziz

Freelancer

Giliran Petani yang Balik Nawar

Diperbarui: 13 Agustus 2020   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi petani menuai padi di sawah | Sumber: KOMPAS.com

Sejarah menjadi saksi bangsa kita berutang besar terhadap sektor pertanian. Tidak hanya sebagai penyedia bahan pangan, tapi juga turut meringankan kontraksi ekonomi saat krisis melanda. 

Pertanian menjadi sektor penyangga (buffer sector) saat krisis moneter 1998, dan menampung tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan di kota. 

Begitu pula pada saat krisis keuangan dunia 2008. Banyak negara yang terjungkal hingga akhirnya mengalami kelangkaan pangan.

Sementara Indonesia masih adem ayem, bahkan neraca perdagangan sektor pertanian mampu mengerek PDB nasional menjadi 6,1 persen (yoy).

Terjadi lagi pada 2020 ini yang bertepatan dengan wabah pandemi Covid-19. Ancaman kelangakaan pangan dunia semakin terasa.

Justru, bagi pemerintah menjadi jendela kesempatan (window of opportunity) untuk mendorong ekspor produksi pertanian. Dengan begitu, dapat menutupi celah di sektor-sektor lain yang tengah lesu. 

Kesyukuran mana lagi yang kita dustakan? 

Bahkan jauh-jauh hari, bangsa lain --Portugis, Spanyol dan Belanda -- pun sudah mengakui pertanian Indonesia, terutama rempah-rempahnya.

"Kenapa (Belanda) jauh-jauh ke sini? Karena saat itu, segenggam lada hitam sama dengan segenggam emas," ujar pemerhati sejarah Batavia, Andy Alexander.

Sayangnya, kekayaan itu tidak lantas menjamin kemakmuran yang merata. Hal ini yang dikritisi oleh personil band Koes Plus, Yok Koeswoyo, dalam lagunya 'Kolam Susu' (1973).

Melansir dari Kompas.com, ia menyebutkan, Indonesia sebagai tanah surga yang salah dikelola.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline