Lihat ke Halaman Asli

PMII dan Meritokrasi ala Rafsanjani

Diperbarui: 17 April 2024   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekretaris Jenderal PB PMII Muhammad Rafsanjani. Sumber: instagram/sahabatrafsan_

Tidak ada yang lebih tepat dibandingkan dengan pilihan mengangkat kembali pemikiran meritrokasi ala Sekretaris Jendral Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Muhammad Rafsanjani.

Melalui meritokrasi, Rafsanjani, yang belum genap 40 hari telah mendahului kita semua, mengajak seluruh warga pergerakan untuk melakukan kritik otokritik terhadap berjalannya roda organisasi PMII.

Menyambut momentum peringatan Hari Lahir PMII ke-64 tahun, tulisan ini sejenak mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali orientasi dan tantangan zaman yang akan dihadapi organisasi ini ke depan.

PMII yang notabene lekat dengan kultur jam'iyyah Nahdlatul Ulama', kerap kali berbenturan dengan tradisi feodalisme hingga patronase. Di tengah situasi tersebut, sistem meritokrasi menjadi alat untuk membawa PMII bertransformasi menjadi organisasi kader yang modern dan intelektual berasaskan Islam Ahlussunnah wal' Jamaah an-Nahdliyah.

Mengapa Meritokrasi?

Meritokrasi sendiri adalah sebuah sistem di mana kesempatan diberikan kepada individu berdasarkan kompetensi. Meritokrasi berarti menentang untuk mengukur kesempatan individu berdasarkan faktor eksternal, seperti keturunan atau 'orang dalam'.

Bukan tanpa alasan, Rafsan membumikan kembali istilah meritokrasi atas dasar realita yang telah ia temui selama bertahun-tahun. Atas dasar kapasitas sebagai Sekjen PB PMII serta Anggota Bidang Kaderisasi Nasional PB PMII 2017-2021, Rafsan menemukan persoalan hampir di seluruh wilayah di mana kader menggantungkan sejak dini harapan masa depan kepada orang lain.

Ibarat fenomena gunung es, realita tersebut akan menjadi sangat berbahaya apabila tidak disorot dengan serius. Melalui meritokrasi, Rafsan mendorong agar kader-kader PMII turut meyakini bahwa penentu masa depan ialah atas dasar kemampuan diri sendiri.

Masih atas dasar kapasitas yang sama, Rafsan juga melihat realita ketidakpercayaan diri kader PMII apabila harus bersaing dengan komunitas lain. Hal tersebut dikhawatirkan Rafsan bermuara dari kebiasaan mengandalkan jejaring atau orang dalam atau pihak eksternal di luar diri sendiri.

Melalui meritokrasi, Rafsan memberikan batasan yang jelas antara kompetensi diri dan jejaring organisasi. Mengibaratkan dengan makanan, Rafsan menyebut kemampuan serta kompetensi diri sebagai makanan pokok seperti nasi, sayur, lauk pauk, buah dan susu. Rafsan menyebutkan seorang kader tetap dituntut memiliki jejaring organisasi namun dalam kapasitas sebagai sumplemen pendukung.

Menjadi berbahaya apabila seorang kader mengkonsumsi suplemen untuk dijadikan makanan pokok dan dalam jangka waktu yang terus menerus. Hal ini yang dikhawatirkan Rafsan sehingga ia menginisiasi untuk membumikan kembali istilah meritokrasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline