Lihat ke Halaman Asli

Fahman Falahi

Manusia biasa yang membiasakan "Hidup Sederhana Berjuang Seutuhnya"

Hakikat Perempuan dari Nyi Jompong

Diperbarui: 8 Juni 2022   04:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fenomena perempuan hari ini yang mengenal media sosial memperngaruhi sifat keperempuanan. Saya sendiri banyak menyaksikan perempuan bergoyang dengan lihai diiringi dengan alunan musik, kemudian gerakan-gerakannya diada-ada seakan ingin memperlihatkan area-area sensitif pada tubuhnnya.

 Fenomena semacam itu bagi saya sudah mencederai hakikat perempuan itu sendiri. Bahkan tidak jarang ditemui perempuan usia belasan tahun yang sudah memiliki anak bukan karena pilihan, tetapi karena keterpaksaan. Sudah terlalu bebas memaknai feminimisme atau sebagian dari mereka tidak tahu dan tidak peduli.

Kekhawatiran muncul menyaksikan itu semua, norma yang berjalan di masyarakat sudah tidak lagi mampu menahan keinginan untuk sekedar mendapatkan perhatian melalui jumlah ditonton, disukai dan sebagainya pada media sosial.

Ketika esai ini akan dibuat, kekhawatiran akan femomena itu terus berkumandang dalam pikiran. Kemudian saya teringat dengan seorang tokoh bernama Nyi Jompong dalam sebuah cerita rakyat. Bagi saya Nyi Jompong memberikan pelajaran yang dapat dijadikan panutan bagaimana perempuan dan hakikatnya yang harus dipertahankan.

Cerita rakyat Nyi Jompong merupakan cerita rakyat yang berkembang di lingkungan masyarakat Cibaliung. Saya sendiri berjumpa dengan cerita rakyat Nyi Jompong pada tahun 2013. Saat itu dikisahkan oleh kawan saya dan diajak ke sebuah sungai yang besar, dikelilingi Pepohonan, kemudian di hulunya terdapat air terjun, dan sebuah batu yang membentuk alat kelamin wanita.

Dan bagian paling antusias yang diceirtakan oleh kawan saya itu, yaitu batu yang berbentuk kelamin wanita, lengkap dengan cerita bahawa setiap bulannya mengeluarkan cairan yang berwarna merah, kemudian air yang ada di dalam lubangnya tidak pernah kering meski suanginya sedang kering, dan batu itu tidak pernah tertutup air sungai meski air sungai sedang meluap.

Batu yang membentuk kelamin wanita itu dipercaya masayrakat sebagai milik Nyi Jompong. Batu itu menjadi simbol keperawanan Nyi Jompong, karena pada saat itu tidak sempat disetubuhi oleh Tuan Besar Belanda, karena Nyi Jompong Meloncat dari air terjun agar tidak ditangkap Tuan Besar Belanda.

Beberapa tahun saya meyakini itu hanya sebagai sebuah Cerita Rakyat, sampai suatu ketika pada tahun 2015-saat itu saya kelas 8 MTs, menyaksikan pementasan drama dari Teater Paksi di Cibaliung dalam rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Dari penyaksian itu, saya mulai menemukan makna tentang harga pada diri manusia.

Cerita Rakyat Nyi Jompong mengisahkan seorang perempuan yang Cantik di sebuah kampung pada zaman Penjajahan Belanda. Saat itu Belanda menerapkan kebijakan bahwa warga harus membayar upeti. Selain menagih upeti, para serdadu Belanda melakukan hubungan biologis secara paksa terhadap gadis-gadis di desa.

Suatu saat ketika Belanda menagih upeti, Tuan besar Belanda tertarik dengan kecantikan Nyi Jompong dan meminta kepada Nyi Jompong agar mau menjadi istrinya. Tetapi Nyi Jompong menolak, melalui perantara ayahnya. Kemudian disuatu hari, sehabis memungut tutut dari sawah, Nyi Jompong dikejar oleh pasukan Belanda termasuk taun Besar. Di suatu kondisi, Nyi Jompong terpojok di sebuah air terjun tiga tingkat.

Nyi Jompong memutuskan untuk meloncat ke bawah, ketimbang menyerah kepada tuan besar untuk memenuhi kebutuhan biologisnya Tuan Besar Belanda. Akibat terjatuh dari air terjun yang tinggi, tubuh Nyi Jompong terpotong-potong dan berceceran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline