Lihat ke Halaman Asli

Moh. Fadhil

Dosen IAIN Pontianak

Delegitimasi Pemberantasan Korupsi

Diperbarui: 24 September 2019   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menabur bunga di kantor KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Aksi tersebut sebagai wujud rasa berduka terhadap pihak-pihak yang diduga telah melemahkan KPK dengan terpilihnya pimpinan KPK yang baru serta revisi UU KPK. (Antara Foto/Sigid Kurniawan)

Meskipun baru bergulir ke publik, drama proses revisi UU KPK sudah melewati babak akhir. Meskipun cepat dan terkesan terburu-buru, ajaibnya RUU KPK seolah tidak ada hambatan berarti di internal Parlemen untuk meloloskannya.

Ibarat tsunami yang mengguncang begitu cepat di tubuh KPK, dampaknya terasa memporakporandakan bahteranya.

Pada awalnya masyarakat difokuskan pada lemahnya kredibiltas pansel dalam menjaring para kandidat capim KPK. Semua kekuatan dialirkan demi tetap menjaga marwah dan kredibilitas KPK di tangan orang-orang yang tepat.

Data-data rekam jejak masing-masing capim seolah mental di bawah kuasa pansel, pun begitu dengan DPR saat melakukan uji kelayakan. Betapa tidak berartinya aspirasi masyarakat yang perjuangannya murni demi tetap tegaknya bahtera KPK untuk berlayar di tengah badai kekuasaan koruptif.

DPR seolah memposisikan dirinya bukan sebagai representasi rakyat, melainkan representasi kekuasaan. Otoritas dalam menentukan proses seleksi terhadap lembaga yang dilahirkan dari rahim reformasi tersebut dilaksanakan secara otoritatif.

Namun, seolah menghipnotis fokus masyarakat, secara senyap proses revisi UU KPK justru masuk tanpa permisi bahkan kini telah bereinkarnasi.

Tentu publik bertanya-tanya mengapa proses revisi UU KPK terkesan senyap sejak awal lalu muncul berlalari kencang di garis finish begitu cepat? Jika dibandingkan dengan rumitnya proses reformulasi suatu undang-undang, RUU KPK justru mulus tanpa cela sama sekali.

Drama Delegitimasi
Jika dicermati pernyataan demi pernyataan Fahri Hamzah tentang KPK, seolah merepresentasikan bahwa KPK merupakan lembaga yang penuh borok di mata Parlemen. Banyaknya anggota Parlemen yang menjadi korban keganasan mesin KPK seolah membangkitkan solidaritas anti KPK di tubuh Parlemen.

Kedudukan KPK yang terletak di luar dimensi kekuasaan, bangunan dan benteng yang kokoh (superbody power), senjata penyadapan yang mematikan, dan ketiadaan kewenangan SP3 yang memperkokoh konstruksi KPK menjadikan KPK di mata lingkaran kekuasaan sebagai kapal perang yang dapat meluluhlantakkan panggung kekuasaan.

Struktur kekuasaan yang cenderung empuk oleh berbagai fasilitas, menterengnya nama, kedudukan yang terhormat seolah retak oleh hantu bernama KPK.

Para kartel politik mulai mencari celah hingga lubang terkecil di tubuh KPK untuk dapat memetakan strategi mengguncang bahtera KPK oleh kiriman badai, jika perlu ditenggelamkan. Muncullah pandangan bahwa KPK tidak efektif dalam menaikkan angka indeks persepsi korupsi atau IPK.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline