Isu anarko sindikalis kembali menjadi sorotan setelah sejumlah aksi massa dari Bandung 2019 hingga Jakarta pada 25 Agustus 2025 dikaitkan dengan kerusuhan, vandalisme, bahkan pembakaran fasilitas umum. Tidak jarang mereka dilabeli sebagai perusuh dan ancaman laten setara teroris. Tetapi penyederhanaan semacam ini justru menutup kompleksitas ideologi serta akar sosial yang lebih dalam, sekaligus menjauhkan publik dari pemahaman yang proporsional mengenai fenomena ini.
Jejak Historis yang Terlupakan
Anarkisme bukanlah fenomena asing dalam sejarah Indonesia. Sejak awal abad ke-20, jaringan anarkis Belanda dan sindikalis Eropa memengaruhi wacana buruh di kota-kota pelabuhan, terutama Semarang. Media dan jaringan propaganda kala itu memperkenalkan gagasan anti-otoritarian, solidaritas buruh, serta penolakan hierarki yang berjalan paralel dengan sosialisme dan komunisme.
Pasca-1965, seluruh gagasan kiri ditenggelamkan dalam stigma politik. Namun, fase pasca-Reformasi 1998 menghadirkan lagi ruang alternatif: diskusi komunitas, musik underground, mural, dan zine yang mengkritik ketidakadilan struktural kapitalisme sekaligus otoritarianisme negara. Generasi muda menemukan di dalamnya identitas alternatif sebuah ruang ekspresi bebas yang menantang nilai lama.
Identitas, Generasi, dan Simbol Perlawanan
Bagi remaja dan dewasa awal, pencarian identitas sering memunculkan sikap penolakan terhadap struktur dominan. Anarko hadir sebagai simbol kebebasan, solidaritas, sekaligus pelarian dari budaya homogen. Tidak sedikit tindakan protes berupa vandalisme yang sesungguhnya adalah ekspresi politis atas simbol-simbol kuasa di ruang kota.
Penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa ekspresi agresif remaja sering kali lahir dari minimnya kanal aspirasi formal. Dengan demikian, sebagian aksi yang mendapat label kriminal bisa dipahami sebagai manifestasi frustrasi sosial. Menempatkannya sekadar dalam kerangka keamanan jelas menyempitkan konteks.
Antara Stigma dan Realitas
Citra anarko di ruang publik dibentuk lebih banyak oleh simbol perlawanan keras: kerusuhan, coretan tembok, atau kampanye daring provokatif. Kontroversi klaim "penjarahan massal" beberapa waktu lalu bahkan menyingkap lemahnya akurasi informasi yang berujung pada over-securitization.
Menyamakan anarko dengan terorisme adalah kekeliruan kategoris. Terorisme adalah strategi sistematis yang bertujuan menakut-nakuti masyarakat luas demi tujuan politik tertentu. Anarko-sindikalis di Indonesia justru lebih sering mengejawantah sebagai gerakan solidaritas sosial, meski memang tak jarang sebagian ekspresi mereka melanggar hukum. Menyamakan keduanya hanya memperkeruh ruang wacana publik sekaligus menutup pintu mediasi.