Dalam denting gong dan cambuk yang melayang, Tari Caci bukan hanya pertunjukan. Ia adalah pelukan yang menyamar jadi luka, dan luka yang menyamar jadi cinta.
Beberapa minggu lalu, saya menghadiri langsung sebuah pertunjukan budaya yang tidak biasa.
Saya berada di sebuah lapangan (natas) terbuka di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, menyaksikan secara langsung salah satu warisan budaya Indonesia yang luar biasa.
Saya duduk di antara warga lokal dan wisatawan, menyaksikan dua pria berhadapan, bersenjatakan cambuk dan perisai.
Mereka tersenyum manis, lalu saling mencambuk, dan akhirnya berpelukan. Inilah Tari Caci, salah satu bentuk kebudayaan Manggarai yang langsung saya saksikan dengan mata kepala sendiri.
Sebagai orang Manggarai asli, darah saya mengalir dari budaya ini. Saya tidak sekadar menonton pertunjukan. Saya merasa sedang menyaksikan bagian dari diri saya sendiri. Tradisi yang diwariskan dari leluhur saya, yang kini berdiri tegak di hadapan dunia.
Saya menonton dengan campuran takjub, ngeri, dan haru. Ada sesuatu dalam tarian itu yang terasa begitu manusiawi: luka yang disepakati, harga diri yang dipertaruhkan, dan pelukan yang tulus.
Kenapa Luka Bisa Jadi Pelukan?
Yang saya saksikan bukan pertunjukan brutal. Bukan pula sekadar tarian etnik. Itu adalah ritual. Ritualitas tubuh yang mencambuk tubuh. Aksi yang tampak keras, tapi benar-benar mengandung kelembutan.
Saya bertanya pada diri saya sendiri: siapa yang rela dicambuk di depan banyak orang, lalu melanjutkannya dengan pelukan tanpa kepalsuan?
Mungkin jawabannya sederhana: ini bukan pertarungan, tapi komunikasi. Bahasa simbolik yang hanya bisa dipahami jika kita berani diam.
Caci: Antara Ritual dan Simbolisme
Tari Caci dilahirkan dari budaya Manggarai. Sebuah pandangan dunia yang menyulam keberanian, spiritualitas, dan komunitas. Dalam konteks tradisional, Caci adalah bagian dari penti (syukuran panen), ritual penyambutan tamu penting, atau penyatuan dua kampung.