Dalam beberapa bulan terakhir, warganet Indonesia ramai membicarakan fenomena viral “Tung Tung Tung Sahur” yang banyak digemari, terutama oleh anak-anak. Konten ini menampilkan karakter animasi berbentuk kentungan dengan ekspresi mencolok, gerakan lucu, dan musik yang menghentak. Sekilas tampak menghibur, tetapi popularitasnya memicu kekhawatiran orang tua dan pemerhati anak terhadap dampaknya pada perkembangan mental dan perilaku anak, khususnya generasi Alpha yang tumbuh di era digital.
Pengguna TikTok @noxaasht pertama kali mengunggah konten ini pada akhir Februari 2025. Ia menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat animasi sahur yang berlebihan dan menampilkan karakter menyeramkan sekaligus lucu. Tak butuh waktu lama, video tersebut viral, menyebar luas ke TikTok dan YouTube, dan menginspirasi banyak kreator lain membuat versi live action hingga remix. Animator profesional seperti Mark Cannataro bahkan merilis versi 3D karakter ini. Fenomena ini meluas hingga ke kancah internasional—bahkan klub sepak bola seperti AC Milan dan Juventus ikut mengunggah konten bertema serupa.
Anak-anak menyukai konten ini karena visualnya yang warna-warni, gerakannya yang cepat, dan musiknya yang bersemangat. Konten ini sangat cocok dengan karakteristik generasi Alpha yang terbiasa dengan rangsangan digital tinggi. Mereka menonton ulang berkali-kali dan meniru gaya serta suara dari video tersebut.
Namun, psikolog anak mulai menyuarakan kekhawatiran. Mereka menilai konten dengan rangsangan audio-visual berlebihan dapat menurunkan rentang perhatian anak. Anak-anak berpotensi mengalami kesulitan fokus saat belajar dan kehilangan minat terhadap kegiatan produktif. Selain itu, unsur horor ringan dan simbol agresi—seperti ketukan keras dan ekspresi galak—mendorong anak menirunya tanpa memahami konteks. Akibatnya, mereka bisa meniru perilaku tersebut di rumah atau sekolah.
Orang tua memegang peran penting dalam mengawasi konsumsi digital anak. Mereka tidak bisa menganggap semua konten viral aman untuk anak. Pendampingan aktif sangat dibutuhkan agar anak tidak terpapar konten yang tidak sesuai. Di sisi lain, kreator konten juga perlu memikirkan etika. Meskipun tujuan mereka hanya menghibur, mayoritas penontonnya adalah anak-anak yang masih berada dalam fase meniru.
Platform seperti TikTok dan YouTube juga harus bertanggung jawab. Algoritma mereka sering mempromosikan konten berdasarkan popularitas, bukan kecocokan usia. Oleh karena itu, mereka perlu memperkuat sistem penyaringan agar anak tidak mengakses konten yang kurang layak untuk usianya.
Kesimpulannya, “Tung Tung Tung Sahur” memang menunjukkan kreativitas dalam mengolah budaya lokal menjadi hiburan digital. Namun, jika konten seperti ini mendominasi ruang digital anak tanpa pengawasan, maka dampaknya bisa merugikan. Oleh karena itu, kolaborasi antara orang tua, guru, pembuat konten, dan platform digital sangat penting. Kita perlu memastikan bahwa anak-anak tidak hanya menikmati hiburan digital yang seru, tetapi juga aman dan mendukung tumbuh kembang mereka secara sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI