Lihat ke Halaman Asli

Ermansyah R. Hindi

Free Writer, ASN

Filsuf Tergoda dengan Kritisisme

Diperbarui: 26 Februari 2024   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsuf-profesor, dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (Sumber gambar: Kompas.com)

Bila filsuf mendadak mengkritik penguasa. Sebaliknya, apa jadinya filsuf bungkam seribu bahasa atas penyimpangan kuasa. Apa yang diwaspadai oleh filsuf saat etika dan kebebasan dikangkangi oleh penguasa. 

Setelah kritik kampus, eh, malah topeng kuasa dibongkar oleh filsuf. Apa yang menggoda filsuf? Uang, topeng filsuf atau yang lain?

Berani berbicara tentang kebenaran itulah tugasnya. Suatu kebenaran yang tahan banting oleh sogokan dan iming-iming. Integritas mereka tidak tergoyahkan oleh tebak-tebak berhadiah, pesanan, hingga kedudukan dan jabatan yang menggiurkan.

Apakah filsuf tidak mampu beradaptasi? Dia memandang ke arah misteri dan kenyataan yang ada di sekitarnya. Baginya, misteri dan kenyataan adalah basa-basi, kecuali pertanyaan. Filsuf lebih doyan mempermasalahkan setiap jawaban atas pertanyaan. Bertanya dan bertanya menjadi obat penenang filsuf.

Hal yang paling menantang dari filsuf adalah permasalahan kehidupan dan pemikiran tentang tubuh dan hasrat. Filsuf kerap mempermasalahkan apa yang dianggap sebagai kebenaran. Dia mempermasalahkan kesetiaan pada sesuatu yang sudah dianggap sebagai titik akhir dan mutlak adanya.

Atas segala apa adanya, sosok filsuf berpendirian bukan pada permasalahan tertarik atau tidak pada jabatan dengan segala fasilitas yang melekat padanya. Filsuf dan kuasa adalah hasrat yang bergonta-ganti dengan pikiran. Hasrat sebagai energi abstrak sebagaimana pikiran sebagai kekuatan ajaib, kecuali nampak bergerak melalui tubuh.

Sesungguhnya, dalam pertanyaan yang sama tidak terhindarkan. Dapatkah hasrat bekerja tanpa tubuh? Apa yang dilakukan pikiran tanpa tubuh?

Begitu pula kuasa. Apakah kuasa dapat dinikmati tatkala ketidakhadiran hasrat? Apakah kuasa dapat menampakkan dirinya jika tidak ada tubuh? Rangkaian pertanyaan tersebut akan selalu diajukan oleh filsuf. 

Nah, ragam pertanyaan muncul bukan akibat kuasa sewenang-wenang dan tidak menggunakan hati nurani. Kalau dipikir-pikir, filsuf tidak asyik pada dirinya sendiri. Sosok filsuf tidak menyodorkan dirinya untuk diikuti petuahnya dan apa-apa yang menjadi keyakinan inteleknya terletak pada kekuatan untuk mempermasalahkan sesuatu.

Apakah filsuf akan muncul untuk berbicara secara blak-blakan saat kehidupan sedang kacau? Apakah filsuf akan melawan kuasa negara, yang nyatanya masyarakat sudah aman dan sejahtera dalam kehidupan lahir dan batin? Jelas kiranya, filsuf sesuai alam yang berbicara dalam esensinya sendiri; menandakan kritisisme dalam kondisi apapun filsuf berusaha untuk memilih tidak berpangku tangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline