Lihat ke Halaman Asli

Erlangga Danny

Seorang yang bermimpi jadi penulis

Membumikan Konsep Islam Progresif Bung Karno

Diperbarui: 17 Oktober 2017   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai fajar penghabis kegelapan, di awal abad kedua puluh, berkilaulah sinarnya dalam dunia gelap Indonesia, seorang "de Grote Leider" yang namanya tiada mungkin dilupakan. Soekarno, putra sang fajar yang telah membawa seluruh rakyat Indonesia dari zaman gelapnya menuju sinarnya kemerdekaan.

Pidatonya yang berapi-api dibarengi jiwa revolusionernya senantiasa membangunkan jiwa-jiwa rakyat Indonesia melawan imperialisme Barat saat itu. Hingga wafatnya pada 1970, beliau tiada pernah lelah menanamkan benih-benih persatuan, membangunkan keyakinan, membangkitkan semangat perlawanan terhadap ketamakan bangsa imperialis Barat. 

Bung Karno bukanlah seorang yang dogmatis dan kaku dalam memahami Islam, namun sebaliknya progesif dalam Islam. Tatkala ia masih menjadi mahasiswa, ia menulis artikel yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang dimuat di Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926.

Baginya, Islam ialah alat pemersatu ketiga golongan itu bagi bangsa Indonesia dalam melawan kungkungan imperialisme Barat. Walaupun golongan Islam mengecualikan adanya nasionalisme dan konsep materialisme dalam Marxisme, tetapi Islam mengandung semangat persaudaraan umat seperti sabda Nabi s.a.w."Sesungguhnya semua manusia itu bersaudara" dan sama-sama menentang adanya praktek imperialisme yang pada kenyataannya mengeksploitasi manusia.

"Islam jang sedjati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam jang sedjati tidaklah bertabiat anti-sosialistis, selama kaum Islamis memusuhi kaum nasionalis jang luas budi dan Marxisme jang benar, selama itulah kaum Islamis tidak berdiri di atas Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tahadi." (Soekarno, 1964: 10)

Konsepsi persatuan ketiga golongan inilah yang sebenarnya menjadi gagasan Islam progresif Bung Karno.

Kedua, Islam harus menerima kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan Bung Karno membuktikan alasan kaum pelajar Indonesia tidak mau belajar Islam sebagai berikut:

"...Islam tidak mau membarengi zaman, dan karena salahnja orang-orang jang memprogandakan Islam; mereka kolot; mereka orthodox; mereka anti-pengetahuan; dan memang tidak berpengetahuan, tachajul, djumud, menjuruh orang bertaqlid sahadja orang "pertjaja" sahadja---mesum mbahnja mesum!" (Soekarno, 1964: 337)

Ini menggambarkan betapa progresifnya Islam Bung Karno dengan tidak mengharamkan kemajuan IPTEK yang notabene buatan umat non-muslim yang oleh sebagian kalangan umat Islam dianggap sebagai buatan orang "kafir". Tentulah ini tidak baik bagi peradaban umat Islam.

Islam is progress. Progress berarti suatu barang ciptaan baru yang tidak meng"copy" barang lama. Umat Islam haruslah menerima segala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi janganlah umat Islam lupa bahwa mereka tiada boleh bersikap taqlid saja menerima kemajuan dan pengajaran yang mereka peroleh tanpa referensi yang logis. Mereka harus melandasinya dengan pemikiran yang kritis.

Ketiga, menurut Bung Karno, Islam tidak boleh memaksakan suatu sistem pemerintahan yang berdasarkan kekhalifahan pada suatu negara. Menanggapi fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, kita bisa saksikan bahwa dunia Islam benar-benar sterven, kehilangan apinya, jiwanya, dan tiada rohnya. Seperti contoh HTI. Dengan dibungkus dalil agama, mereka menginginkan terbentuknya sistem kekhalifahan di Indonesia. Bung Karno bahkan menolak dengan tegas:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline