Kasus keracunan makanan bergizi gratis di sejumlah sekolah kembali mengguncang rasa tenang para orangtua. Program yang semula digadang-gadang sebagai wujud perhatian negara pada gizi anak, justru menorehkan luka baru: siapa yang berani menanggung ketika kesehatan putra-putri kecil itu dipertaruhkan?
Fakta di lapangan tak bisa diabaikan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat hingga 21 September 2025 sudah ada 6.452 siswa yang mengalami dugaan keracunan dari program MBG. Angka ini melonjak lebih dari seribu kasus hanya dalam sepekan. Di Garut, Jawa Barat, sebanyak 569 murid dari lima sekolah mengalami mual dan muntah setelah menyantap nasi dan ayam. Di Sulawesi Tengah, 277 siswa di Kabupaten Banggai mengalami nasib serupa, membuat distribusi makanan dihentikan sementara. Bahkan di Sragen, Jawa Tengah, 365 siswa harus dilarikan ke layanan kesehatan usai makan siang yang dibagikan sekolah.
Apakah nyawa dan kesehatan anak bisa dijadikan taruhan atas program yang eksekusinya belum matang? Orangtua wajar merasa resah. Menolak MBG bukan tanda tidak bersyukur atau tidak mendukung program pemerintah. Justru di sanalah naluri paling dasar berbicara: melindungi buah hati dari kemungkinan terburuk.
Bekal yang dibuat di rumah seringkali dianggap pilihan paling aman. Di dapur sederhana, orangtua tahu betul bahan yang dipilih, cara memasak yang mereka percayai, hingga selera anak yang mereka pahami. Tidak ada satu pun orangtua yang dengan sadar akan memberi makanan murahan, basi, atau beracun. Maka bagaimana mungkin anak-anak diminta menerima makanan jadi yang kualitasnya sulit dipastikan, hanya demi sebuah program?
Jika benar niat pemerintah ingin memperbaiki gizi generasi muda, jalannya bisa ditempuh dengan cara lain. Uang yang digelontorkan untuk program MBG bisa dialihkan menjadi tambahan uang saku yang dikelola orangtua, atau dukungan langsung pada pendidikan yang manfaatnya lebih panjang. Karena gizi bukan hanya soal nasi di piring, tetapi juga soal ketenangan hati orangtua ketika melepas anak berangkat sekolah.
Anak-anak bukan sarana coba-coba. Mereka tidak boleh menjadi korban evaluasi berkepanjangan. Sekali seorang anak keracunan, dampaknya bukan sekadar berita, melainkan trauma bagi keluarga, bahkan ancaman bagi masa depan.
Menolak MBG bukan berarti menolak kebaikan pemerintah. Itu hanyalah penegasan hak: anak-anak berhak tumbuh sehat, dan orangtua berhak menentukan apa yang terbaik bagi mereka.
Pada titik ini, pemerintah harus berani mengakui bahwa kasus keracunan yang sudah menimpa ribuan anak bukan sekadar insiden teknis, melainkan alarm keras terhadap lemahnya pengawasan pangan di tingkat sekolah. Jika standar kebersihan dapur, kualitas bahan makanan, hingga distribusi tidak diperbaiki secara menyeluruh, risiko akan terus berulang. Kepercayaan orangtua pun akan semakin menurun, dan program sebesar MBG kehilangan legitimasi di mata publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI