Lihat ke Halaman Asli

Elly Suryani

TERVERIFIKASI

Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Purun, Kisah Perempuan dan Padang Rumput di Lebak Basah Itu

Diperbarui: 24 Maret 2019   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: yayasan perspektif baru

Suatu siang dengan langit mendung yang saya lupa hari apa. Padang rumput menghampar di sela genangan air yang mereka sebut rawa dan gambut. Sebuah perahu sedang ditambatkan pada sepancang tonggak kayu. 

Seorang perempuan setengah baya sedang asyik sendiri diantara padang rumput itu. Nyaris tak terlihat sebab ia mengenakan baju yang warnanya serupa warna rumput-rumput itu. Saya kira, perempuan itu memang sedang asyik sendiri dan tak ingin menonjolkan diri.

Gerakannya cepat, suasana hening. Hanya ada sehamparan rumput, angin yang menderu, langit medung, sebuah perahu tadi dan sebuah pisau yang disebutnya "lading", kadang arit, menemaninya. Srat sret srit, suara lading dan arit menebas rumput-rumput itu.

Pada hari yang lain, ia akan kembali ke hamparan rumput itu bersama beberapa perempuan lain. Begitulah sejak ia remaja. Sebab mereka perempuan desa di Pedamaran, sebuah kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang telah belasan tahun berkawan dengan padang rumput di rawa itu. Padang rumput khas Rawa Lebak dengan tanaman purun. 

Sumber Foto: wanitaindonesia.co.id

Purun (Elocharis dulcis) adalah tanaman liar yang biasa tumbuh di Rawa Lebak dan sebagian orang menyebutnya gulma sebab dulunya hanya dianggap tanaman pengganggu. Sampai akhirnya puluhan tahun lalu sebagian masyarakat telah mengolah purun menjadi berbagai jenis barang kerajinan. Pun bagi masyarakat Pedamaran. Purun telah puluhan tahun menjadi kawan perempuan Pedamaran, tanaman yang mereka olah menjadi benda kerajinan yang bisa dijual menambah pendapatan keluarga.

Ya, Pedamaran di benak saya, selalu melekat ingatan tentang perempuan pengrajin purun dan penjala ikan rawa. Rawa yang di sana dikenal dengan nama lebak. 

Sumber Foto: mongabay.co.id

Sumber Foto: yayasan perspektif baru

Purun yang setelah dipotong lalu diikat untuk dibawa pulang. Proses purun menjadi benda kerajinan Itu cukup panjang. Purun masih harus dijemur, dipipihkan sehingga lembaran purun melebar dan tipis. Barulah bisa dianyam menjadi berbagai barang seperti tikar, wadah penyimpan dan sebagainya.

Telah puluhan tahun purun diolah perempuan di Pedamaran, hasilnya belum begitu besar bagi peningkatan pendapatan perempuan di sana. Cerita yang saya dengar kerajinan purun tak begitu menjanjikan, sebab harganya murah dan penjualan tidak begitu lancar karena kerajinan purun hanya digunakan oleh orang tertentu. Purun sungguh sebuah kekayaan seandainya ia dijaga dan dimanfaatkan dengan baik. 

Sumber Foto : mongabay.com

Sumber Foto: sumselupdate

Sumber Foto : mongabay.com

Sayangnya kisah padang purun di lebak-lebak itu belum begitu berbuah manis. Meski potensinya begitu besar dan telah menjadi tanaman penopang untuk tambahan pendapatan keluarga, hasilnya belum begitu memuaskan. 

Kerajinan purun tidak laku dijual dengan harga yang sepadan. Penjualannya pun tidak sebanyak benda kerajinan tangan lain, sebab konon kerajinan purun hanya dinikmati oleh para konsumen dalam daerah di Sumatera Selatan. Itupun kelompok tertentu yang masih menggunakan tikar purun, tepak purun dan lain sebagainya. 

Ya purun belum begitu besar kontribusinya pada share PDRB Kabupaten Ogan Komering Ilir. Mungkin itu sebabnya purun tidak ada dalam Buku Ogan Komering Ilir Dalam Angka. Lumayan membuat saya miris.

Peningkatan Nilai Jual Purun dan Pemasaran

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline