Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Menculik Ibu

Diperbarui: 16 Februari 2017   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.flickr.com

Berkali kukatakan kepada Ayah, jika sudah besar nanti, aku ingin menculik Ibu. 

Mendengar itu Ayah tertawa. 

"Kau mesti menyiapkan mental dulu jika ingin menjadi seorang penculik. Terutama menculik Ibumu sendiri," begitu seloroh Ayah menanggapi kata-kataku. Kemudian tangan kekar itu merengkuhku. Mengacak-acak rambutku dan membenamkan kepalaku ke dalam pelukannya.

Dalam peluk Ayah aku merasa sedih.

Ah, Ayah. Mengapa ia membiarkan hal ini terjadi? Mengapa Ayah tidak mencegah Ibu pergi? Aku masih ingat, sore itu Ayah berdiri di ambang pintu seraya menggendongku. Ia tidak berkata apa-apa.

Aku benar-benar kecewa, sangat kecewa. Kukira Ayah akan melakukan sesuatu. Menarik tangan Ibu misalnya. Tapi ternyata tidak. Ayah hanya berdiri memandang punggung Ibu yang semakin jauh dan menghilang di ujung jalan.

Sungguh, sikap Ayah yang pengecut itu membuatku kehilangan rasa bangga terhadapnya.

"Ayah, sudah saatnya aku menculik Ibu," ujarku beberapa tahun kemudian, sepulang dari sekolah.

Ayah tidak menyahut. Ada gurat sedih terbaca di sorot matanya.

"Kau sudah besar, Gordy. Sudah lima belas tahun. Ayah tidak bisa mencegah keinginanmu," Ayah berkata lirih. Dan seperti biasa, diraihnya kepalaku untuk kemudian dibenamkan dalam-dalam, ke dalam pelukannya yang sama sekali belum berubah.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline