Lihat ke Halaman Asli

Sejarah Ushul Fikih

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Ilmu Ushul fikih adalah pengetahuan tentang dalil-dalil fikih secara gelobal (metode dan rumusan untuk menggali hokum), bagaimana menggunakan rumusan itu, dan siapa saja yang bias menggunakan rumusan itu. Usul Fikih sebagai satu bidang ilmu adalah merupakan hasil kreatifitas anak manusia. Ilmu usul fikih bisa dikatakan sebagai ilmu baru, mengingat objek kajian usul fikih, yaitu Qur’an dan Hadits sudah ada jauh hari sebelum usul fikih itu sendiri dirumuskan.

Pada masa kerosulan, ilmu usul fikih belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Ilmu usul fikih belum dikenal di kala itu. Sekalipun peraktik dari usul fikih itu sudah ada, akan tetapi secara metode baku ushul fikih belum dirumuskan. Ini bukan hal yang mengherankan, mengingat para sahabat adalah orang-orang pilih tanding dalam kecerdeasan serta kemampuan bahasa mereka. Apalagi pada masa itu kesusastraan arab sedang mengalami puncak kejayaanya. Para sahabat di kala itu sudah memiliki kemampuan untuk melakukan penggalian hokum dengan bakat yang memang sudah mereka miliki. Dengan kemampuan bahasa mereka yang begitu tinggi, mereka bias memahami nash-nash syar’i yang disampaikan oleh Nabi SAW. Lebih dari itu mereka adalah orang-orang yang bersentuhan langsung dengan peroses nuzul dan tanzilil wahyu.

Seiring perjalanan waktu, wilayah islam semakin meluas hingga keluar jazirah arab. Kekuasaannya menyentuh jauh keluar wilayah arab. Pergaulan orang-orang arab pun bukan hanya di lingkungan mereka sendiri. Mereka tidak hanya bergaul dengan sesama masyarakat arab, tapi juga mulai bergaul dengan orang-orang luar. Hal ini secara otomatis berdampak negatif terhadap bahasa mereka. Pengaruh bahasa asing tidak bisa dihindarkan lagi. Kemampuan bahasa sudah tidak secemerlang dahulu. Hal ini pun berpengaruh terhadap kemampuan umat islam dalam memahami firman Allah dan Hadits Nabi. Kemampuan mereka dalam penggalian hukum pun semakin menurun.

Pada kala itu, para ulama terbagi menjadi dua kubu besar, ahli ro’yu yang berpusat di Kufah dan ahli Hadits yang bermarkaz di Hijaz. Kedua kubu ulama ini memegang perinsip yang berbeda untuk menentukan hokum. Mereka memiliki sikap yang berbeda terhadap teks-teks hadits yang beredar. Jika, Ulama Hijaz yang juga dikenal sebagai ulama ahli hadits lebih cenderung mengedepankan hadits sebagai pegangan hokum daripada nalar akal, maka ulama ahlur ro’yi justru sebaliknya, mereka lebih mengedepankan nalar akal dari pada hadits sekalipun itu Hadits Shoheh.

Perbedaan prinsip yang terjadi di antara dua ulama besar ini bukanlah tanpa alasan. Mereka masing-masing memiliki alasan dan berangkat dari latar belakang tersendiri dengan sikap yang mereka miliki. Ulama ahlul hadits lebih memilih mendahulukan Hadits karena mereka tinggal dilingkungan yang masih kental dengan tradisi islam. Mereka tinggal di daerah hijaz yang merupakan pusat hadits. Daerah yang masih dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki tanggung jawab besar terhadap keabsahan hadits-hadits Nabi. Banyaknya rowi tsiqoh membuat mereka tidak perlu ragu lagi dengan hadits yang beredar. Jika para ulama mengatakan hadits tersebut shoheh, maka mereka akan menerimanya bulat-bulat sekalipun hadits itu bertentangan dengan logika manusia.

Sedangkan di daerah Iraq, tempat tinggal ulama ahlir ro’yi justru bertolak belakang dengan wilayah Hijaz. Di daerah ini banyak beredar hadits-hadits maudhu’ . Banyaknya riwayat-riwayat maudhu’ inilah yang menyebabkan mereka lebih selektif dalam memilih hadits sebagai landasan hokum. Tidak semua hadits lantas bias dijadikan sebagai sumber hokum. Hadits yang shoheh sekalipun masih memeiliki kemungkinan merupakan Hadits maudhu’. Maka ketika antara nalar dan hadits terjadi pertentangan, ulama Iraq lebih mendahulukan nalar mereka.

Perbedaan pendapat diantara dia kubu besar ulama ini makin lama makin meruncing. Mereka saling menyalahkan dengan perinsip yang dipegang oleh yang lain. Dari kedua kubu ini muncul orang-orang yang memiliki fanatik tinggi terhadap golongannya sendiri. Orang-orang ahlu ro’yi menyalahkan ahli hadits karena terlalu terikat dengan hadits nabi, mereka menilai hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman yang mereka miliki. Orang-orang ahli hadits juga menyalahkan ahli ro’yi karena agamanya berlandaskan dzon dengan menetapkan hokum dengan akal.

Katika pertentangan ini semakin meluas, seorang ulama ahli hadits di Madinah, Imam Abdurrohman bin Mahdi (w. 198 H) mengirim surat kepada Imam Syafi’i. Beliau meminta Imam Syafi’i untuk merumuskan sebuah metode atau kaidah bagaimana menggali sebuah hokum dari adillah asysyar’iyah. Maka permintaan itu dipenuhi oleh Imam Syafi’I dengan menulis sebuah kitab yang kemudian dikenal dengan nama Arrisâlah.Kitab inilah yang kelak menjadi cikal bakal ushul fikih.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Ghôyatul Wushul Syarhil Ushul, Syaikh Zakariya Anshory, Hal: 4

Nuzul adalah peroses turunnya Alquran sekaligus. Tanzil adalah peroses turunnya alquran dengan mengikuti peristiwa yang terjadi di masa itu.

Al-Wajîz fi-Ushulit-Tasyri’ al-Islami, Dr. Hasan Haeto, hal: 515

Roudlotun-Nâdzir wa jannatul-Manâdzir (Jz: 1 Hal: 12)

Ibid.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline