Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

[BanciPilpres] Politik Ikat Bambu Bukan Kaleng-kaleng

Diperbarui: 12 Maret 2019   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi, politik ikat bambu. Menguatkan, bukan kaleng-kaleng. Foto | dokpri

Kala penulis berkeliling kota Batam, dijumpai para politisi berkumpul di sebuah kafe. Kafe belakangan ini memang jadi tempat favorit bagi politisi sejak memasuki tahun politik. Mereka, di situ, membahas berbagai isu dan mengupayakan menjadi terang melalui diskusi-diskusi.

Jam berkumpul bagi para politisi di kafe tidak tentu. Bisa pagi, siang atau malam hari.  Tetapi kebanyakan sih pada siang hari, saat makan siang. Di situ, tampak politisi masih "bau kencur",  berpengalaman, senior hingga level konglemerat menyempatkan diri makan bersama.

Makan bersama menjadi ajang silaturahim penting antaranggota partai-partai.  Terlebih dari kubu koalisi 01  Joko Widodo -- KH Ma'ruf Amin yang tengah membendung pengaruh lawan 02 Prabowo Subianto -- Sandi S Uno.

Sungguh, kata orang, makan bersama ini dapat mengeliminir jurang perbedaan. Bahkan menguatkan sulaturahim. Kerennya lagi, dapat mendorong peningkatan komunikasi mulai dari level akar hingga top manajemen.

Seorang politisi senior tiba-tiba tampil ke depan dan menarik perhatian pengunjung. Ia memegang sebuah pelantang suara (mikrofon).  Setelah menyampaikan salam, pantun dan memperkenalkan diri, lantas mengingatkan peserta bahwa sekarang ini ada pihak tak bertanggung jawab mengembangkan politik belah bambu.

Ia tak menjelaskan apa maksud politik belah bambu. Yang jelas, mulutnya terus nyerocos seperti petasan cabe rawit yang kemudian dari kejauhan disambut peserta dengan tawa riang.

Lantas, ingatan penulis terbawa kepada sebuah bambu (petung) yang dibelah dua oleh seorang tukang kayu. Di awali si tukang membelah bambu dengan sebuah golog. Untuk mempercepat pemisahkan bambu terbelah, maka si tukang tadi menginjak sebelah bambu dan belahan lainnya diangkat kuat dengan tangan. Maka, terbelalah bambu tadi.

Politik belah bambu dapat dimaknai sebagai politik adu domba. Seperti pada zaman old, kolonial itu, para tokoh di tanah air diadu domba.  Dengan cara, tokoh satu diberi fasilitas. Tokoh lainnya, dikompori dan kemudian melemparkan kebencian kepada tokoh yang dekat dengan penguasa. Hehehe.. ini pendapat penulis lo!

Seorang lurah, Candra Hermawan di kota ini, hanya mengangguk tanda setuju bahwa definisi politik belah bambu maksudnya seperti itu.

"Iya, pa," jawabnya singkat.

Tapi, soal bambu dibelah ini memang bisa dimaknai lebih luas lagi. Bisa juga antarulama diadu-domba oleh kepentingan, sebutan ulama dikriminalisasi.  Sedikit-sedikit diucap dikriminalisasi meski terbukti menciptakan hoax dan melemparkan fitnah dengan menyebut 'maling teriak maling'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline