Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Kuaci di Bioskop Singapura hingga Film Kentut

Diperbarui: 15 Maret 2018   11:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk memberikan rasa nyaman, bioskop di Inggeris melengkapi kasur untuk penontonnya. Foto | FB Pillow Cinema.

Penulis paling merasa kesal jika ditugasi membuat liputan pertandingan olahraga renang, menembak, apalagi panahan yang sekali pun jumlah penontonnya banyak, "diharamkan" membuat berisik di tepi lapangan, termasuk bertepuk tangan.

Cabang olahraga seperti angkat besi, bola basket, voli masih rada senang lah jika ditugasi untuk meliput. Tetapi jika sudah menyebut catur dan bridge, rasanya paling gondok. Menjengkelkan. Sebab, olahraga ini harus dipahami terminologinya benar-benar, termasuk langkah hingga riwayat pemainnya.

Jadi, apa yang disukai?

Tidak jauh-jauh dari menonton sepak bola dan membuat laporannya dalam bentuk berita. Orang Indonesia, entah mengapa, sejak dulu memang gemar sepak bola meski hingga kini tak pernah lagi melahirkan pemain sekelas Ramang dari Makasar. Apa lagi Maradona asal Argentina itu.  

Penulis juga gemar membuat laporan pernak-perniknya pertandingan sepak bola dalam bentuk pumpunan dan artikel lainnya dalam bentuk wawancara panjang. Setelah itu, ya nonton di bioskop.

Nonton pertandingan bola disebut gibol pada zaman old ketika itu. Lalu, kalau hobi nonton di bioskop itu disebut apa, ya?

Ya, gila nonton film sajalah. Punya hobi nonton memang mengasyikkan.

**

Pada era tahun 80-an, penulis tidak pernah melepaskan hobi nonton di bioskop. Layar lebar, bisa tertawa sepuasnya. Ketika di Monas masih hadir bioskop, di situ penulis sering tidur karena tontonan tidak menarik. Saat bersamaan, juga tidak ingin melepaskan hobi menonton sepak bola. Dan sebagai reporter olahraga, bioskop dengan berbagai judul ditonton. Sekali pun kondisi fisik bioskop itu butut hingga nonton film di luar negeri.

Penulis masih ingat betul kala mengikuti perjalanan tim sepak bola nasional usia 16 tahun. Ini pengalaman berkesan. Seingat penulis, ketika itu pelatihnya adalah Maryoto dan Muhardi. Maaf, jika salah menyebut. Tim ini melakukan tur ke berbagai kota, mulai Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bandung dan beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Bali. Yang dihadapi, kesebelasan lokal yang usianya rata-rata di atas 23 tahun.

Selama perjalanan itu, usai membuat laporan dalam bentuk berita, penulis keluyuran. Di berbagai tempat keramaian, penulis bertanya tentang bioskop. Dan, jika diingat saat itu, bioskop tidak seperti pada tahun 2000-an, yang hadir di sejumlah mal. Bioskop tidak didukung dengan sound system, yang suaranya bagus ditangkap telinga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline