Lihat ke Halaman Asli

edy mulyadi

Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

Ekonomi Mentok 5% dan Warisan yang Diabaikan

Diperbarui: 12 November 2018   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis ekonomi kwartal III 2018 tumbuh 5,17%. Data itu juga menyebutkan kontribusi terbesar masih dari Jawa. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak merata.

Dalam empat tahun terakhir, ekonomi mentok tumbuh di sekitar 5%. Tentu saja, ini jauh janji pasangan Jokowi-Jusuf Kalla saat kampanye Pilpres di 2014 silam. Keduanya, waktu itu, sesumbar bakal mendongkrak pertumbuhan ekonomi 7%.

Pertanyaannya, kenapa Indonesia seperti terjebak pada 'kutukan' pertumbuhan yang cuma 5%? Bukankah di sekeliling Jokowi berkumpul para menteri ekonomi yang jempolan? Bahkan, bukankah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kadung dianggap sebagai kampiun ekonomi dengan prestasi cemerlang sehingga diguyur berbagai penghargaan tingkat internasional?

Racun neolib
Tapi, tahukah anda, bahwa persoalannya justru ada pada orang-orang itu. Kalau saja tim ekonomi Jokowi bukanlah mereka, sangat boleh jadi target ekonomi tumbuh 7% per tahun yang dijanjikan bakal terwujud.

Para menteri ekonomi itu adalah para penganut dan pejuang paham neolib. Itulah sebabnya berbagai kebijakan ekonomi mereka selalu sarat dengan nilai-nilai dan paham neolib. Jangan tagih ekonomi kerakyatan, karena mereka memang tidak punya dan tidak mau. Buat orang-orang itu, pasar adalah segala-galanya. Serahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar, maka kemakmuran dan pertumbuhan akan terjadi dengan sendirinya.

Jangan heran kalau alokasi belanja sosial di APBN terus menciut. Pada saat yang sama, anggaran untuk membayar utang justru kian menggembung. Bagi mereka, kepentingan majikan asing adalah yang utama. Sedangkan subsidi adalah distorsi. Karenanya harus dikikis, jika mungkin sampai habis.

Sayangnya, orang-orang yang dianggap hebat ini kelewat degil. Rentetan fakta sejarah menunjukkan, tidak satu pun negara (berkembang) yang menerapkan ekonomi bermazhab neolib bisa sejahtera. Pembangunan ala Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) yang menjadi kiblat, justru makin menjerumuskan negara-negara berkembang pada kubangan utang superbesar. Resep-resep pemulihan ekonomi yang IMF dan WB sodorkan, malah kian memperparah sakit si pasien. Yunani dan Argentina adalah contoh amat baik tentang kegagalan neolib. Juga, Indonesia.

Ekonom senior Rizal Ramli adalah satu dari amat sedikit orang yang lantang menyuarakan penentangan terhadap hegemoni IMF dan WB. Melihat sepak terjangnya di sejumlah negara, Menko Ekuin era Gus Dur itu menyebut IMF sebagai dewa amputasi, bukan dewa penyelamat. Neolib adalah racun!

Terbang tanpa neolib
RR, begitu dia biasa disapa, juga berkali-kali menyarankan agar Indonesia secepatnya meninggalkan mazhab neolib dalam membangun. Peringatan keras terus disuarakannya, baik ketika di dalam maupun di luar kekuasaan.

Rekam jejaknya selama menjadi Menko Ekuin dan Menteri Keuangan Gus Dur yang amat singkat, membuktikan RR bukan cuma doyan berteori. Ekonomi yang saat itu minus 3%, hanya dalam tempo 21 bulan berhasil didongkrak menjadi 4,5% alias tumbuh 7,5%.

Hebatnya lagi, sukses tersebut tidak ditopang dengan utang yang gila-gilaan seperti yang menjadi pakem neolib. Pada masa itu, utang justru berhasil dikurangi sebesar US$4,5 miliar. Yang juga istimewa, ternyata pertumbuhan itu sangat berkualitas. Rasio indeks Gini tercatat terendah sepanjang 50 tahun terakhir, yaitu 0,31. Prestasi terdekat dengan itu pernah dicapai Pak Harto pada 1993, yaitu Gini Ratio sebesar 0,32.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline