Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomi Mentok 5% dan Warisan yang Diabaikan

12 November 2018   10:14 Diperbarui: 12 November 2018   11:08 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sejatinya, bisakah Indonesia lolos dari jebakan pertumbuhan yang hanya 5%. Jawabnya, tentu bisa banget. Syaratnya ada dua. Pertama, tinggalkan jauh-jauh pembangunan ala IMF dan WB. Kedua, buat kebijakan-kebijakan terobosan, out of the box. Kebijakan tepat yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan cepat dan berkesinambungan. Sejarah membutkikan, kita justru bisa terbang tanpa neolib!

Warisan yang terbengkalai
Saat didapuk menjadi Menko Kemaritiman oleh Jokowi, sebenarnya Rizal Ramli sudah menorehkan prestasi jauh melampaui kewajibannya. Revaluasi aset BUMN, fokus pada 10 destinasi prioritas di sektor pariwisata, membangun kilang on shore untuk blok Masela yang memicu hilirisasi industri petrokimia, dan pendidikan vokasional adalah beberapa saja kebijakan terobosan yang dihasilkannya.

Revaluasi aset BUMN misalnya. Program ini berhasil menaikkan nilai aset BUMN hingga Rp800 triliun lebih dengan perolehan pajak Rp32 triliun sepanjang 2015. Sumbangan terbesar atas lonjakan aset itu diperoleh dari revaluasi aset 43 BUMN dan 19 anak perusahaannya.

Saat itu RR bukan Menko Perekonomian. Itulah sebabnya, kendati kebijakan ini disetuji Presiden pada sidang kabinet, tetap saja dia tidak bisa 'memaksa' menteri-menteri ekonomi untuk melaksanakannya. Akibatnya, program revaluasi aset BUMN haya berjanlan setengah hati.

Padahal, jika program ini berjalan dengan baik, dipekirakan aset BUMN bisa melonjak hingga Rp2.000 triliun. Bila sebagian aset tadi dimasukkan menjadi modal, maka BUMN bisa memperoleh pinjaman sampai US$100 miliar. Uang inilah yang bisa menggelorakan pembangunan dan memompa daya beli publik, tanpa membebani APBN. Ujung-ujungnya, hanya dengan revaluasi aset BUMN saja ekonomi bisa didongkrak tumbuh 6%. Tidak cuma berkutat di angka 5% seperti sekarang.

Tentang 10 destinasi prioritas yang jadi program terobosan RR antara lain Kepulauan Seribu di Jakarta, Danau Toba di Sumatera Utara, Gunung Bromo di Jawa Timur, Labuan Bajo di Flores, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Morotai di Maluku, dan Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Sisanya adalah Tanjung Lesung di Banten, Belitung, dan Yogyakarta. Ke-10 destinasi wisata itu dipilih karena secara bisnis menjadi lokasi yang yang paling cepat menyedot wisatawan sehingga memiliki dampak kepada perekonomian.

Selanjutnya, infrastruktur kesepuluh destinasi wisata itu akan segera diperbaiki mulai dari infrastruktur jalan hingga bandaranya. Guna mendukung arus wisatawan manca negara, Pemerintah saat itu memberlakukan bebas visa bagi kunjungan turis untuk 168 negara asal wisatawan potensial. Selain itu, juga bermacam -izin bagi masuknya kapal pesiar dipermudah.

Sayangnya, seiring dengan terpentalnya Rizal Ramli dari kabinet, program ini kemudian tidak berjalan dengan seharusnya. Padahal, kalau saja Pemerintah fokus pada 10 destinasi pariwisata utama, bukan tidak mustahil target 20 juta turis dengan devisa US$20 miliar pada 2019 bakal tercapai.

Begitu pula denga pembangunan ladang gas Blok Masela. Kendati Jokowi akhirnya menyetujui pembangunan kilangnya di darat, tapi hingga kini tidak terdengar kelanjutannya. Inpex Corporation sebagai pemilik proyek dengan berbagai dalih sampai sekarang tidak kunjung merealisasikan pembangunan kilangnya. Asal tahu saja, sebelumnya, Inpex memang berharap kilang dibangun di off shore. Niat yang tidak kesampaian inilah yang diduga menjadi penyebab mereka tidak kunjung merealiasikan pembangunannya.

Saat RR menjadi Menko Maritim, dia sudah mengancam Inpex. Jika perusahaan asal Jepang itu tidak segera mengembangkan Blok Masela, bukan mustahil pemerintah bakal mendepak dari proyek ladang kaya gas di Laut Arafura tersebut. Karena sejatinya, perkara ini bukan sekadar memindahkan kilang dari laut ke darat, melainkan juga perubahan perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kita miliki.

Dengan perubahan paradigma ini, maka gas tidak lagi hanya diubah menjadi LNG untuk kemudian diekspor. Gas juga dibutuhkan untuk energi dan bahan baku industri petrokimia. Dengan paradigma seperti ini, gas bisa dimanfaatkan untuk membangun industri-industri petrokimia dan turunannya. Belum lagi bakal memicu tumbuhnya dan aneka industri lokal yang akan membuka kesempatan lapangan kerja, perolehan dan atau penghematan devisa, tumbuh dan berkembangnya pengusaha nasional serta industri tersier.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun