[caption id="attachment_363952" align="aligncenter" width="619" caption="Tampilan halaman muka mesin pencari Google hari ini, Sabtu 2 Mei 2015, menggunakan gambar tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara, mengingat hari ini Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. (foto: capture google)"][/caption]
TERLALUbanyak maling di negeri tercinta ini. Maling ada di mana-mana dan pada berbagai level kehidupan dan keseharian kita. Celakanya, perilaku maling ini ada juga yang telah melalui proses pembibitan sejak usia dini. Bukan tak mungkin kelak mereka berubah menjadi maling kelas kakap, tak terkecuali menjadi para pelaku korupsi ketika negara dan/atau perusahaan memberikan kepercayaan kepada mereka saat dewasa. Apa yang salah?
Sebagai masyarakat biasa yang sehari-hari menjalankan usaha ritel di Batam, saya mendapati sejumlah anak-anak berusia SD dan SMP sudah mahir mengutil. Sampai lupa sudah berapa kali saya menangkap maling (pengutil) berusia belia. Biasanya anak-anak itu saya tanyai di mana sekolahnya, siapa orangtuanya, mengapa mencuri, lalu dinasihati agar tidak mencuri. Sebelum disuruh pulang, saya menghukum mereka membersihkan halaman atau mencuci WC. Ada beberapa anak saya antar pulang untuk bertemu langsung dengan orangtuanya agar mereka dinasihati. Tetapi ada juga yang saya tempeleng karena meskipun sudah tertangkap basah masih berkelit bahkan melawan dan berani mengancam.
Pernah satu kali saya menangkap seorang anak lelaki ketika mengutil. Saya baru menangkapnya setelah kali ketiga dia mengutil di toko kami (dia beraksi tiga hari berturut-turut). Setelah dihukum mencabut rumput di halaman, saya antar pulang bocah kelas lima SD itu yang rupanya tinggal tak jauh dari kompleks perumahan kami. Malamnya, anak itu datang bersama ibunya ke rumah kami untuk membayar barang-barang yang telah dia ambil. Tetapi saya kembalikan uang ibu itu sambil memintanya agar lebih baik lagi dalam mendidik anak-anaknya.
Lebih celaka lagi, ada beberapa ibu-ibu mengajak dan melibatkan anak-anak mereka ketika beraksi Suatu ketika karyawan saya menangkap seorang ibu sedang mengutil di toko kami. Ibu berusia 41 tahun itu beraksi bersama dua anak laki-lakinya, masing-masing berumur 14 tahun dan 4 tahun. Dalam menjalankan aksinya, si ibu bertugas memasukan barang curiannya ke dalam tas yang dia bawa, sedangkan anak lelakinya bertugas mengambil barang sembari mengawasi pergerakan karyawan saya. Setelah tasnya penuh, mereka akan berpura-pura membeli beberapa makanan ringan murah-meriah untuk mengelabui kami.
Saya sendiri sudah dua kali melihat ketika ibu itu beraksi, tetapi sengaja membiarkannya lantaran mereka adalah tetangga kami. Anaknya pun cukup akrab dengan kami. Hal inilah yang membuat kami enggan menangkapnya karena merasa akan mempermalukan mereka. Tetapi dia sama sekali tidak menyadari perbuatannya, sehingga saya pun kesal dan menyuruh para karyawan agar lain kali ditangkap saja bila dia mengutil lagi. Benar saja, ibu itu dan anak-anaknya beraksi lagi. Karyawan saya pura-pura tidak tahu tetapi diam-diam mengawasi perbuatan mereka. Setelah dia selesai beraksi, karyawan saya langsung membekuknya lengkap dengan sejumlah barang bukti di dalam tasnya. Barang buktinya antara lain sabun mandi, shampo, bedak bayi, mie instan, popok bayi, dan makanan ringan. Begitu tertangkap, si ibu coba menyogok karyawan saya agar dirinya dilepas, tetapi karyawan saya menolak.
Karena saling kenal, saya tidak melaporkan ibu itu ke polisi. Saya hanya melapor ke Ketua RW agar menasihatinya dan meminta agar si ibu tidak diserahkan kepada polisi. Selain karena tetangga, saya tahu bahwa ibu itu sendirian merawat dua anaknya. Dia mengaku suaminya sedang bekerja di Jakarta. Lucunya, si ibu sangat liat berkelit ketika ditanya sudah berapa kali beraksi. Dia mengaku baru sekali itu, padahal sebenarnya dia telah melakukannya lebih dari lima kali. Lantaran terus berkelit, Ketua RW kami, yang juga seorang perwira polisi, akhirnya kesal dan mengancam akan menyerahkannya ke Polsek. Setelah diancam, barulah dia mengakui bahwa setidaknya sudah enam kali beraksi di toko kami. “Iya, Pak. Mungkin sudah enam kali saya ngambil barang di sini,” ujarnya.
Saya tanya, “selain ngutil di tempat kami, di mana saja Ibu sering beraksi?” Dia menjawab, “cuma di sini saja kok, Pak.” Saya kejar lagi; “Yang benar saja, Bu!” Dia jawab; “eh, iya, saya juga pernah ngambil di ... (dia menyebut nama beberapa toko).”
Saya meminta ibu itu agar barang-barang yang pernah dia curi dari tempat kami agar dikembalikan dan yang membayar yang sudah mereka gunakan. Agar memberi efek jera, atas persetujuan Ketua RW, saya meminta agar dia membayar sepuluh kali lipat dari harga barang-barang tersebut. Pada akhirnya, saya pun tidak memaksa ibu itu untuk membayar sesuai permintaan saya, tetapi dia harus membuat pernyataan di atas materai bahwa dirinya tidak akan mengutil lagi, baik di tempat kami maupun di tempat lainnya.
Selain kasus ibu di atas, masih ada beberapa kasus ibu-ibu mengajak anak-anaknya mengutil di toko kami. Seperti kasus seorang ibu yang saya pergoki mengutil bersama sepasang anaknya sepulang sekolah. Kedua anaknya masih mengenakan seragam SD dan memanggul tas sekolah di punggungnya. Rupanya tas sekolah berukuran besar itu hanya berisi beberapa buku dan sengaja dibawa untuk menyimpan barang hasil curian mereka. Lagi-lagi, karena kasihan, mereka tidak saya laporkan ke polisi. Saya hanya mengambil kembali barang yang mereka curi dan menasihati agar jangan mencuri lagi, apalagi sambil mengajak anak-anaknya yang masih SD.
Kenapa mencuri?
Asal tahu, sudah belasan bocah yang saya maupun karyawan saya pergoki ketika mengutil di toko kami. Beberapa anak yang saya pergoki mengaku sudah sering mengutil, baik di toko kami maupun di toko lainnya. Saya selalu punya pertanyaan wajib kepada mereka; “Mengapa kamu mencuri. Apakah di rumah kamu juga mencuri uang milik orangtuamu? Apakah kamu pernah mencuri barang atau uang milik temanmu di sekolah”
Ada yang tidak menjawab meski dipaksa. Anak lainnya menjawab karena tidak diberi uang jajan, uang jajannya kurang, dan meniru temannya. Tetapi tidak ada seorangpun yang mengaku pernah mencuri uang milik orangtuanya maupun mencuri barang milik temannya.
Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki berumur 12 tahun memberikan jawaban cukup mengejutkan; “Aku pernah lihat ibu-ibu ngambil barang di toko, Om, tapi nggak apa-apa. Nggak ada yang tahu.” Jelas, anak ini belajar dari perilaku orang dewasa!
Para psikolog, sosiolog, dan ahli terkait yang paling tepat menjawab permasalahan ini secara rinci dan ilmiah. Saya sendiri hanya bisa khawatir mengenai masa depan anak-anak tersebut. Apakah ada sistem yang salah? Apakah proporsi pendidikan moral dan budi pekerti di sekolah masih kurang? Atau ada permasalahan lainnya, misalnya tekanan ekonomi keluarga dan ketimpangan sosial, misalnya si anak melihat teman-temannya royal membeli jajanan sementara dirinya tidak bisa karena tak punya uang jajan/uang jajannya cuma sedikit lantaran berasal dari keluarga kurang mampu (?)
Hardiknas
Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel opini bertajuk “Pengajaran Sejarah” di Harian Kompas edisi 23 April 2015 yang ditulis oleh Siswono Yudo Husodo, mantan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (1993-1998) di era Presiden Soeharto.
Pria yang juga pernah menjabat Menteri Negara Perumahan Rakyat dan juga mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini mengulas bahwa ada yang salah dalam model pengajaran sejarah di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi kita. Anak-anak didik/mahasiswa lebih ditekankan menghafal tanggal kejadian-kejadian bersejarah tetapi kurang mendapat asupan mengenai makna/pesan moral dari peristiwa sejarah yang diajarkan. Para siswa tidak memperoleh pemahaman mengenai semangat perjuangan dan pesan-pesan penting dari para pahlawan yang dapat bermanfaat untuk membangun karakternya. Pun tidak ada (kurang) kebanggaan terhadap jasa para pahlawan bangsa ini. Penulis sendiri merasakan hal tersebut dan mengamini pendapat DR Siswono dalam artikel tersebut.
Misalnya tentang Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang selalu kita peringati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya. Kita tahu bahwa penetapan tanggal 2 Mei ini menggunakan tanggal lahir tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara (nama aslinya Soewardi Soerjaningrat) yang lahir pada 2 Mei 1889. Tetapi apakah kita semua tahu sosok seperti apakah Ki Hajar itu? Apa dan bagaimana perjuangan Ki Hajar bagi bangsa ini?
Kalau kita perhatikan nasihat para orangtua atau para pemuka masyarakat, seringkali menekankan agar kita tidak terpengaruh oleh budaya Barat yang selalu dikonotasikan negatif. Sehingga yang melekat di kepala masyarakat kebanyakan; “pokoknya pengaruh Barat itu jelek, titik!” Di sisi lain kita justru sangat jarang memberi nasihat-nasihat (termasuk dalam pelajaran di sekolah) menggunakan (menonjolkan)
karakter-karakter hebat para pahlawan yang patut dicontoh? Sementara Ki Hajar, sang pencetus semboyan; “ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan) justru banyak belajar tentang sistem pendidikan dari tokoh-tokoh pendidikan Barat, seperti Friedrich Frobel (Jerman) dan Maria Montessori (Italia).
***
Di samping pendidikan di sekolah, tayangan televisi kita - yang hemat penulis membawa pengaruh besar terhadap anak-anak dan remaja - tampaknya kurang peduli terhadap pembangunan karakter bangsa ini. Lebih banyak tayangan lucu-lucuan, gosip tentang orang-orang terkenal, acara musik, pencarian bakat (mayoritas di bidang seni suara), dan tentu saja sinetron.
Sinetron-sinetron kita lebih menonjolkan gaya hidup hedonis. Kalaupun ada sinetron yang berupaya memberikan pesan moral, (maaf) lebih menekankan pada nilai-nilai agama dan kurang penekanan mengenai semangat kebangsaan dan kebersamaan. Tetapi ketika kita menyaksikan film-film Barat dan film-film India, hampir selalu menonjolkan para pemeran utama dengan karakter kepahlawanan melawan kejahatan dalam berbagai bidang.
Saya belum pernah menyaksikan sinetron yang bercerita mengenai seorang polisi hebat, jaksa yang jujur, hakim yang adil, perjuangan para petugas pemadam kebakaran, perjuangan seorang guru di pelosok, dan tema-tema lain semacam itu.
Acara-acara talkshow di televisi pun kurang lebih sama saja. Justru latah membahas isu-isu yang sedang hot (kebanyakan terkait orang-orang terkenal di dunia hiburan), mengundang narasumber yang lagi ramai digosipkan, dan sejenisnya. Satu-satunya acara talkshow televisi yang paling saya sukai adalah “Kick Andy” yang dipandu oleh Andy F Noya. Talk show ini selalu menghadirkan orang-orang berprestasi, orang-orang teraniaya, maupun orang-orang yang sedang memperjuangkan hal-hal baik. Di sana ada penyampaian fakta-fakta, cerita mengenai keseharian narasumber, dan tentu saja konklusi berisi pesan-pesan moral bagi hadirin dan pemirsa. Menurut saya, alangkah bagusnya televisi-televisi kita berlomba-lomba mengangkat isu-isu seperti itu yang diharapkan ikut mendorong masyarakat untuk berprestasi, membangun empati dan solidaritas, serta berguna bagi pembangunan karakter bangsa ini.
Mari, kita sebagai masyarakat, senantiasa belajar sekaligus mengajar dan mendidik anak-anak kita agar lebih memiliki semangat kebangsaan dan tidak suka mencuri sejak dini agar kelak dewasa tidak menjadi begal, maling, dan koruptor! Bangsaku, negeriku, selamat memperingati Hardiknas. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI