Lihat ke Halaman Asli

Antara Mitos dan Makna: Mengurai Misteri Malam Satu Suro Dalam Perspektif Islam

Diperbarui: 8 Juli 2025   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pamflet (Sumber: Foto pribadi)

Ketika malam pertama bulan Muharram tiba, banyak masyarakat Indonesia---khususnya di Jawa---menyebutnya sebagai "Malam Satu Suro". Malam ini dianggap sakral, penuh aura mistis, dan bahkan menakutkan bagi sebagian orang. Tradisi mengosongkan rumah, tidak menggelar pesta, hingga larangan bepergian, masih menjadi bagian dari budaya turun-temurun.

Namun yang menarik, dalam ajaran Islam, Muharram justru dikenal sebagai salah satu bulan yang mulia. Ada kontradiksi mencolok antara nilai spiritual Islam dan warisan budaya lokal yang melekat pada malam ini. Lantas, mengapa Malam Satu Suro begitu identik dengan hal-hal mistis? Apakah ini bentuk penyimpangan atau sebuah jembatan budaya? Mari kita telusuri lebih dalam.

Jejak Mistis Malam Satu Suro: Warisan Budaya atau Kesalahpahaman?

Bagi masyarakat Jawa, Malam Satu Suro sarat dengan ritual yang tak lepas dari nuansa gaib. Tradisi kirab pusaka, tapa bisu, hingga semedi di lokasi-lokasi angker dilakukan oleh sebagian kelompok sebagai bentuk penghormatan terhadap "energi malam suro".

Tak jarang pula, malam ini dijadikan momentum "mencuci benda pusaka" seperti keris dan tombak, atau bahkan meruwat diri agar terhindar dari bala. Kepercayaan ini diwariskan secara turun-temurun dari era kerajaan Hindu-Buddha hingga era keraton Islam Jawa.

Sayangnya, dalam praktiknya, banyak ritual tersebut lebih mengedepankan unsur mistik dan khurafat (tahayul) ketimbang nilai spiritual. Ini menjadi titik simpang: antara budaya yang tumbuh secara organik dan ajaran Islam yang mengedepankan tauhid.

Muharram: Bulan Suci yang Ditinggikan Allah

Di sisi lain, Islam memuliakan bulan Muharram sebagai salah satu dari empat bulan haram (suci), sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an (QS. At-Taubah: 36). Pada bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, menjauhi pertikaian, dan menanamkan kedamaian.

Rasulullah SAW menyebut Muharram sebagai "Syahrullah al-Muharram"---bulannya Allah. Bahkan, di dalamnya terdapat hari Asyura (10 Muharram) yang sangat dianjurkan untuk berpuasa, sebagai bentuk rasa syukur atas diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Firaun.

Artinya, secara nilai, bulan ini jauh dari kesan seram, gelap, atau penuh kutukan seperti yang banyak dipercayai dalam kepercayaan lokal. Justru, ini adalah bulan harapan dan pengampunan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline