Lihat ke Halaman Asli

Warna Senja

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jingga keunguan adalah warna senja yang lekat dalam ingatanku. Rimbun pepohonan menghalangi pandanganku dengan batas cakrawala. Senja itu telah jauh berlalu. Tubuh kecilku duduk di batang kayu trembesi yang rebah di tepi jalan utama kampung kami. Burung-burung Sriti (Nama yang diberikan Mbah Parto pada kawanan burung yang lincah berterbangan di sore hari. Tubuh mereka gelap, ramping dan molek) masih sibuk berterbangan di atas area persawahan di hadapanku. Aku termangu memandangi matahari meredup di langit barat.

Rasa lapar tak lagi menggebu. Menggambar sesuatu di atas tanah berpasir dengan kakiku yang beralas sandal hanya sedikit menghalau rasa jemu. Aku mulai menghitung sebisaku. Entah sampai hitungan ke berapa aku lupa dan kembali menghitung dari angka satu, tapi matahari belum juga merendah seperti yang kuiinginkan. Apakah aku datang terlampau cepat? Tapi aku sudah membantu nenek menyiapkan makan berbuka, menyapu halaman dan mandi tentunya.

Aku mulai menghitung hari puasa yang telah kulalui. Masih terlalu dini mengharapkan Ibu pulang. Kalau aku beruntung Ibu akan pulang beberapa hari sebelum lebaran. Bertemu dengannya sekali dalam setahun, tentu telah membuatku terbiasa kehilangan perlindungan. Dan ketika aku merasa sering tidak diterima di mana pun, aku lebih senang duduk sendiri. Kembali kulihat matahari. Telah sedikit menyentuh puncak rimbun pepohonan.

"Oh... bergegaslah turun!" harapku yang sia-sia. Aku harus bersabar menanti beberapa menit lagi.

Perlahan namun pasti, aku melihat keindahan matahari yang terbenam. Bulat penuh seperti merah telur itik, di langit barat yang bersih dengan sedikit warna jingga yang memudar.

Beberapa menit lagi sirine panjang akan berbunyi. Kini ia hanya tinggal separuhnya saja. Selain warna jingga, gradasi warna pink juga ketemukan di langit sebelum bersatu dengan warna biru yang semakin redup di atas kepalaku. Aku tersenyum ketika matahari telah menghilang di balik rimbun pepohonan di kejauhan sana. Meninggalkan sinar jingga yang masih kuat, pink dan biru gelap di langit yang maha luas. Sirine panjang telah berbunyi dari masjid terdekat.

"Nduk wis buko," suara Mbah Parto mengusikku, lebih dari sebuah ajakan untuk pulang.

Hatiku kelu, dengan langkah gontai aku mengekor di belakangnya.

Beberapa kali aku menoleh kebelakang, ke arah barat.

Ketika yang tertinggal hanyalah sinar jingga yang tak lagi garang di langit barat, ungu akan menyatukannya dengan gelap dan akhirnya menghilang menjadi gelap yang sempurna.

Adzan maghrib telah berlalu. Di dalam rumah, lampu teplok telah menyala di atas meja makan. Adik dan nenekku sudah duduk di sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline