Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Koran Kompas di Tengah Gempuran Media Sosial dan Partisan

Diperbarui: 27 Juni 2020   15:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas Sabtu, 27 Juni 2020 (dokumen pribadi)

Semboyan Kompas Amanat Hati Nurani Rakyat di masa sekarang ini mengalami gempuran berat. Di  usia 55 tahun Kompas tepatnya 28 Juni 2020 ,pemihakan jurnalisme kaum papa dan termarjinalkan seperti yang diperjuangkan Kompas pada awal -- awal kelahirannya saat ini mendapat ujian. Ujian itu karena jurnalisme warga menyerbu hampir semua informasi di media online. Kompas seperti digempur oleh berita cepat, berita membandang yang datang antara lain karena munculnya jurnalisme warga. Terkadang  berita di media sosial itu tidak lagi mengindahkan kaidah aturan pemberitaan kode etik jurnalistik.

Koran - koran dengan modal cekak dan tidak mempunyai gurita usaha lain pelan - pelan mati, Mereka ada yang hijrah ke pemberitaan online yang menuntut kecepatan. Koran - koran sebagai sumber berita yang obyektif, tidak condong pada pemihakan politik dan pemilik modal semakin sedikit, mereka yang masih idealis sudah bisa dihitung dengan jari. Wartawan yang mengusung jurnalisme hati nurani rakyat pun semakin beringsut dan tiarap.

Koran Kompas yang lahir dari gagasan pendirinya P K Ojong dan Jacob Oetama (88 tahun) dengan mengusung prinsip Fortiter in re Suaviter in Modo (Kuat dalam Prinsip, lembah lembut cara penyampaiannya) ternyata masih sanggup bertahan. Bagi koran Indonesia mencapai usia 55 tahun itu sungguh luar biasa. Koran lain sudah banyak yang berguguran tidak kuat bertahan ditengah gempuran media digital.

Kini banyak muncul berita hoaks, berita pesanan, berita -- berita yang akurasinya dipertanyakan. Banyak media kritis yang mengandalkan referensi hanya dari literasi portal berita online. Bahkan ada media- media berita online yang memungut artikel dari platform blog semacam Kompasiana. Kebiasaan masyarakat yang buta literasi hanya membaca judul langsung merasa bisa menyimpulkan apa isi beritanya. Padahal kadang banyak media mengandalkan Clickbait untuk meningkatkan keterbacaan sebuah berita padahal isinya jauh dari  judul yang ditampilkan.

Banyak yang menilai Kompas itu lembek, cenderung main aman. Jarang menampilkan berita yang galak pada pemerintah. Koran kompas malah ditempatkan sebagai koran kaum elite yang berduit. Sebab untuk berlangganan koran ataupun membeli harganya cukup tinggi dibandingkan koran lain.

Semakin hari oplah koran cetak menurun, iklan mulai beralih ke media digital yang terkesan lebih cepat. Kalau koran bersaing dalam hal kecepatan berita maka tidak lagi koran cetak akan segera nyungsep, tidak bangun lagi. Maka menurut wartawan, pastor pemimpin redaksi Basis, mau tidak mau Koran seperti Kompas lebih pada kualitas artikel dan berita yang bisa menjadi acuan untuk membuat referensi dari berita- berita yang butuh akurasi data dan valid bisa dipercaya.

Saat ini banyak berita di media sosial yang data - datanya "ambyar" ditulis asal- asalan bahkan ada yang hanya berdasarkan opini penulisnya saja. Tentu jika hanya mengacu pada opini penulisnya presisi berita yang ditampilkan dipertanyakan. Mengapa koran cetak masih penting karena bagi orang yang senang membaca dan memerlukan referensi terpercaya maka berita di koran masih bisa diandalkan nilai beritanya.

Banyaknya informasi hoaks, informasi dari sumber kedua, ketiga membuat portal berita menjadi media fitnah yang bisa digugat karena menampilkan berita yang cenderung hanya berdasarkan asumsi, bukan berdasarkan riset dan wawancara langsung dari sumber terpercaya.

St.Sularto, Indra Gunawan, yang sudah bergabung di Kompas selama 40 tahun pasti sangat mengerti suka duka Kompas hingga mampu bertahan "setua " ini. Tulisan Sindhunata di halaman 1 Kompas mengilustrasikan  Kompas adalah sebagai sumur. Sumur yang berisi air harus ditimba terus menerus. Jakob Oetama ingin menggambarkan bahwa Kompas adalah sumber informasi yang harus terus ditimba dan digali agar bermanfaat. Kedalaman sumur diibaratkan sebagai semboyan Kompas Amanat Hati Nurani Rakyat.

Membaca tulisan Sindhunata yang deras mengalir, nyaman dan enak diresapi membuat penulis yang masih setia membeli Kompas sampai hari ini meskipun hanya koran Sabtu dan Minggu saja masih mengharapkan bahwa Koran Kompas tetap bertahan ditengah gempuran media online.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline